Langsung ke konten utama

metodologi studi islam

METODOLOGI STUDI ISLAM
METODOLOGI HADITS



Dosen Pembimbing:
      Drs. Imam Baihaqi, M. Ag
Disusun oleh:
Novi Dyah Arisanti    
Reni Susanti                
Dwi Agus Setyowati   
Tadris Bahasa Inggris
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
                        2015/2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Sebagai seorang muslim yang taat, sepatutnya kita beribadah sesuai dengan tuntunan dan petunjuk yang ada. Nabi Muhammad saw diutus untuk menyempurnakan akhlak. Melalui beliaulah kita belajar untuk beribadah sesuai tuntunan.
Al-Qur’an dan hadits sebagai pedoman dalam beribadah haruslah berjalan beriringan. Tidak bisa kita beribadah hanya menggunakan satu hukum dan menolak hukum yang lain jika pada dasarnya kedua hukum itu beriringan. Sejauh apa hadits dapat dijadikan sebagai hujjah (argument yang kuat) oleh kaum muslimin? Bagaimana sejarah hadits hingga ia harus dipilah terlebih dahulu sebelum diterapkan? Ilmu apa yang perlu dipelajari untuk menjadikan dasar keshahihan hadits agar boleh diterapkan dalam kehidupan sehari-hari?
Untuk mengetahui semua jawaban pertanyaan itu, patutlah bagi kita untuk mempelajari metodologi hadits walaupun hanya kulit luarnya saja. Penolakan hadits oleh sebagian kalangan (inkar al-sunnah) membutuhkan penyelesaian oleh berbagai pihak. Ke depan tantangan perkembangan zaman yang merongrong agama Islam semakin luas dan harus ada suatu keyakinan yang tertanam kuat dalam diri setiap muslim bahwa kita mampu menghadapi semua itu. Hanya dengan tetap berpegang teguh pada kedua sumber itulah kita akan berjalan menghadapi tantangan zaman.
Sebuah hadits dapat dijadikan dalil dan argument yang kuat, bila memenuhi syarat keshahihan baik dari segi sanad maupun matan. Pengamalan dan penggunaan hadits yang tidak memenuhi syarat baik segi sanad maupun matan berakibat pada realisasi ajaran Islam yang kurang relevan.
B.     TUJUAN PENULISAN
Suatu disiplin ilmu terutama dalam hal ini hadits, ke depan pasti akan terus berkembang. Tujuan yang utama dalam mempelajari keshahihan hadits tentu untuk  menghilangkan keraguan pada diri setiap muslim dalam beribadah.
Kami menyusun makalah ini dengan tujuan:
1.      Mengetahui sejarah singkat perkembangan hadits.
2.      Mengetahui metodologi kritik hadits.
3.      Mengetahui metode pendekatan hadits.
4.      Mengetahui kriteria sahih.
5.      Mengetahui kualitas hadits.
BAB II
PEMBAHASAN
Umatmu yang bertebaran di Timur dan di Barat
Masih tidur nyenyak bagaikan ash-hab al-kahfi
Di tangan mereka dua cahaya: Al-Qur’an dan sunnah
Namun mengapakah mereka masih juga dalam gelap gulita?

Sumber ajaran di dalam agama Islam ada dua, yaitu Al-Qur’an dan hadits. Keberadaan keduanya begitu penting terkait pengamalan ibadah dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian terhadap kedua sumber ajaran tersebut berkembang seiring dengan kehidupan manusia yang semakin kompleks dan tuntutan perubahan zaman. Berdasar asal mulanya, ada beberapa hadits yang diyakini datang bukan berasal dari nabi, melainkan datang dari selain nabi. Maka hal ini menyebabkan hadits perlu diteliti. Hasil kajiannya hingga saat ini telah disebarkan di semua kalangan. Terkait dengan kegiatan akademik, diharapkan ada suatu disiplin kajian ilmu tersendiri yang nantinya terkait dengan bidang studi hadits. Hadits secara istilah memiliki banyak pengertian. Menurut ulama ahli hadits, hadits adalah ucapan, perbuatan, dan keadaan nabi Muhammad saw. Sedangkan menurut ulama ushul fiqh, hadits adalah perkataan, perbuatan, ketetapan Rasulullah saw yang berkaitan dengan hukum. Menurut ulama ahli fiqh, hadits identik dengan sunnah, sebagai salah satu dari hukum taklifi. Hukum taklifi ini adalah suatu perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala, namun jika ditinggalkan tidak mendapat siksa. Yang membedakan makna hadits adalah tinjauan yang digunakan terkait pribadi nabi Muhammad saw sebagai Rasul, suami, maupun sebagai Khalifah. Pada umumnya ulama berpendapat berita yang datang dari nabi disebut hadits marfu’, dari sahabat disebut hadits mauquf, dan dari tabi’in disebut hadits maqtu. [1]
I.                   Sejarah singkat Perkembangan Hadits
Pembagian periodisasi hadits memang berbeda-beda. Namun secara garis besar sebagai berikut.
1.      Masa Wahyu dan Pembentukan (‘ashr al-wahy wa al-takwin)
Pada masa ini Rasul melarang sahabat menulis hadits. Karena Rasul lebih memfokuskan pada penulisan Al-Qur’an. Rasul takut jika nantinya antara hadits dan Al-Qur’an bercampur. Namun sebagian sahabat tetap menulis hadits dengan beberapa alasan, salah satunya kepercayaan nabi pada sahabat.
2.      Zaman Khulafa rasyidin (zaman al-tatsabut wa al-iqlal min al-riwayah)
Periode pembatasan hadits dan penyedikitan riwayat. Pada masa ini suhu politik sedang labil. Periwayatan hadits dilakukan dengan dua metode yaitu bi al-lafdz dan ma’nawi. Pada metode ma’nawi, redaksi yang diriwayatkan berbeda, namun substansinya tetap sama. Metode bi al-lafdz menggunakan redaksi yang mirip dengan nabi.
3.      Penyebaran hadits ke berbagai wilayah (zaman intisyar al-riwayat ila al-amshar)
Di masa ini penyebaran hadits mencapai banyak wilayah, seperti Mesir, Syam, dan Yaman.
4.      Penulisan dan pembukuan hadits secara resmi (‘ashr al-kitabat wa al-tadwin)
Pengkodifikasian hadits diperintahkan oleh Umar bin Abd al-Aziz, khalifah bani Umayah ke delapan.
5.      Pemurnian, Penyehatan, Penyempurnaan (‘ashr al-tajrid wa al-tashhih wa al-tanqih)
Para ulama melakukan gerakan penyeleksian, penyaringan dan pengklasifikasian  hadits dengan memisah hadits marfu’, mauquf, dan maqthu’.
6.      Pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan pengumpulan
7.      Pensyarahan, penghimpunan, dan pentakhrijan
Kelanjutan periode sebelumnya dalam aspek pensyarahan dan pengumpulan hadits, serta penyusunan hadits sesuai topik pembicaraan.[2] 
Fungsi mempelajari hadits adalah sebagai penjelas (al bayan) dari Al-Qur’an. Fathurrahman pada 1974 mengemukakan penjelasan serta kategori al bayan dalam tiga kategori;
a.       Hadits menetapkan dan memperkuat hokum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an. Sebagai contoh kewajiban puasa.
b.      Hadits merinci dan menginterpretasi ayat-ayat Al-Qur’an yang global (mujmal).
Contohnya perintah shalat.
c.       Hadits menetapkan aturan atau hukum yang tidak didapatkan dalam Al-Qur’an.

II.               Penelitian Hadits
Untuk dapat melaksanakan penelitian hadits, peneliti harus memiliki sejumlah pengetahuan penting, seperti ‘ulum al hadits (ilmu ar-rijal dan al jarh wa at ta’dil) dan terkait beberapa ilmu sosial lain. Sebelum mengetahui bagian-bagian di dalam hadits yang akan diteliti, lebih baik kita ketahui terlebih dahulu bagian dari hadits.

 Beberapa bagian hadits adalah,
a.       Isnad, rentetan nama perawi, dari awal hingga akhir.
b.      Musnid, setiap perawi yang meriwayatkan hadits dengan menyebutkan sanadnya.
c.       Matan, perkataan yang disebut di akhir sanad. Di sini letak qaul, fiil, dan taqrir nabi saw
d.      Mukharrij al-hadits ,ulama yang meriwayatkan dan mengumpulkan hadits.
e.       Sanad, silsilah atau jalan yang menyampaikan matan hadits tersebut.
Untuk dapat dikatakan shahih, hadits harus memiliki kriteria, di antaranya tidak janggal (syadz) serta tidak cacat atau buruk (‘illat). Ilmu yang membahas keadaaan perawi dari segi diterima atau ditolaknya riwayat mereka dikenal dengan “jarhu wa al-ta’dil.
Pada penelitian hadits, bagian yang diteliti adalah sanad dan matan. Pada metode klasik, langkah yang ditempuh meliputi:
1.      Melakukan takhrij
2.      Melakukan al-I’tibar
3.      Mengkritisi pribadi periwayat dan metode periwayatannya
4.      Meneliti syudzudz dan ‘illat
5.      Penyimpulan

III.           Metodologi kritik hadits
Di dalam hadits yang shahih, baik matan mausun sanadnya seimbang, maksudnya keduanya shahih. Saat melakukan I’tibar, diperlukan metode takhrij. Peran dari metode takhrij ini adalah mendeteksi asal hadits.
A.    Metodologi ke-Shahihan sanad
Untuk dapat diterima maka sanad tersebut harus shahih dan memenuhi syarat-syarat ini:
1.      Ketersambungan sanad (ittishalu al-sanad)
Ketersambungan sanad, maksudnya para perawi memperoleh hadits tersebut secara langsung. Tidak terputus sejak generasi sahabat hingga generasi perawi terakhir atau penulis hadits tersebut.
Pembuktian selanjutnya dengan pengembangan. Sebagaimana yang dilakukan oleh imam Bukhari dengan adanya semasa (muasharah) dan bertemu langsung (liqa’). Sedang imam Muslim menekankan pada muasharah saja.
Untuk mengetahui ketersambungan sanad maka perlu pengetahuan akan simbol atau lambang yang dibuat perawi. Simbol ini menggambarkan metode penerimaan hadits dari guru perawi. Di antara macam metode yang ada: al-sima’ dan al-kitabah.
Lambang penerimaan hadits (sighat tahammul al-hadith) memiliki bentuk beraneka ragam. Beberapa yang dianggap memiliki bobot tinggi adalah sami’naa, akhbaranaa, qaala lanaa dan lain-lain. Sedang yang dipertanyakan akurasinya seperti anna, dan ‘an.[3] Dalam sanad “mu ‘an ‘an” dan “mu’annan” (anna dan ‘an), sering terdapat tadlis (penyembunyian cacat) berupa keterputusan sanad.[4]
2.      Keadilan Perawi (‘adalatu al-rawi)
Adil bermakna tidak menyimpang. Ulama ahli sunnah berpendapat bahwa perawi hadits di tingkatan sahabat keseluruhan dinilai adil.
3.      Kecerdasan dan kecermatan perawi (dhabitul al-rawi)
Dhabit ada dua, dhabit shadri (kuat ingatan), dhabit kutubi (kebenaran tulisan).
B.     Metodologi ke-Shahihan Matan
Untuk tingkatan matan, tiap ulama memilki kriteria tersendiri. Namun menurut al-Khatib al-Baghdadi, dikatakan shahih apabila memenuhi kriteria berikut:
1.      Tidak bertentangan dengan akal sehat
2.      Tidak bertentangan dengan hukum Al-Qur’an yang telah tetap
3.      Tidak bertentangan dengan hadits mutawatir
4.      Tidak bertentangan dengan amalan yang telah disepakati ulama masa lalu
5.      Tidak bertentangan dengan hadits ahad yang kualitas shahihnya lebih kuat.

IV.           Pendekatan Hadits
Jumlah hadits setelah wafatnya nabi seharusnya memang tidak bertambah. Namun karena permasalahan manusia yang semakin kompleks maka manusia perlu memahami hadits lebih dalam lagi. Maka perlu dilakukan pendekatan antara permasalahan manusia sekarang dengan pemahaman hadits nabi saw dahulu demi memperoleh kebenaran. Pendekatan ini meliputi:
1.      Historis, terkait dengan sejarah keshahihan sanad dan matan hadits.
2.      Antropologi, relevansi situasi dan waktu pada masa hadits turun terkait dengan keadaan atau masa sekarang.
3.      Sosiologis, dengan cara melihat, menyadari, analisa kiprah sosial seseorang. Kita tidak memahami hadits secara tekstual (kulit luar) saja, namun memahami konteks hadits dan menyesuaikan keadaan masyarakat di masa nabi.
4.      Kebahasaan, diteliti kesempurnaan bahasa serta ketepatan penggunaannya. Apakah bahasa yang digunakan secara umum atau khusus.
5.      Sains, validitas keshahihan hadits untuk kemudian dikaitkan dengan penemuan sains. Di sini sains berperan mempertahankan kebenaran hadits dan membuktikannya. Sebagai contoh larangan mengonsumsi daging babi.
Sebagai tambahan pengetahuan umum, beberapa penyusun hadits adalah:
a.       Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al Bukhari (Imam al Bukhari).
b.      Abul Hasan Muslim. Hadits yang dirawikan Bukhari dan Muslim adalah yang paling kuat. Dikenal dengan Al Shahihan.
c.       Abu Isa Muhammad Ibnu Isa Atturmudzi.
d.      Abu Daud Sulaiman dan Abu Abdirrahman Ahmad.
e.        Abu Abdillah Muhammad Ibnu Jazid Ibnu Majah.
Beberapa pelopor dan penggerak hadits:
1.      M. Quraish Shihab, meneliti dua sisi dari keberadaan hadits. Hubungan hadits dan al-Qur’an serta fungsi dan posisi sunnah dalam tafsir.                              .
2.      Muhammad al-Ghazali, memahami hadits dengan melihat konteksnya kemudian mengaitkannya dengan masalah aktual di masyarakat.
3.      Musthafa Al-Siba’iy, hasil penelitian beliau adalah tentang sejarah proses terjadi dan tersebarnya hadits palsu, serta proses ulama membendung hadits palsu.
4.      Zain Al-Din abd Al-Rahim, menemukan bahan-bahan dalam membangun ilmu. Beliau mengemukakan kualitas sanad dan matan untuk pertama kali. 

V.               Kualitas Hadits
Hasil penelitian hadits berdasar kritik sanad dan matan secara umum menghasilkan beberapa kualitas hadits, kemungkinan yang ada
1.      Hadits shahih, dengan sanad dan matan yang shahih pula.
2.      Hadits dha’if, dengan sanad dan matan dha’if.
3.      Perpaduan kedua bagian, kita menyebutnya sesuai keadaan. Isnaduhu shahih wa matnuhu dha’if atau isnaduhu dha’if wa matnuhu shahih. [5]
Terkait dengan hujjah (argument yang kuat) dalam pengamalan hadits, ulama memiliki kriteria yang berbeda. Dalam hal non akidah, sebagaimana menurut Syuhudi Ismail, ulama menolak hadits dha’if sebagai hujjah, dan sebagian ulama menerimanya dengan syarat-syarat yang ketat. .
BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Penyimpangan hadits memang telah ada sejak Rasul saw wafat, namun bukan berarti itu menjadi alasan dalam menolak menjadikan hadits sebagai pedoman mengiringi Al-Qur’an. Karena kita telah dibekali berbagai potensi untuk terus menatap tantangan dan perubahan zaman.
Dalam memanfaatkan hadits, kita memerlukan pengetahuan yang baik tentang keshahihan hadits. Pengetahuan tersebut terutama terkait sanad dan matan. Jika keshahihan suatu hadits telah jelas maka kita tidak perlu ragu lagi dalam menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Setiap ulama memiliki pandangan yang berbeda dalam melakukan penelitian terhadap hadits. Maka ke depan akan lebih banyak lagi disiplin ilmu yang dihasilkan dari hadits.
Dalam melakukan penelitian hadits ada beberapa ilmu yang sebaiknya kita miliki seperti ‘ulum al hadits (ilmu ar-rijal dan al jarh wa at ta’dil) dan terkait beberapa ilmu sosial lain.
Kesempurnaan makna hadits seharusnya tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, potensi akal manusia, ilmu pengetahuan, penalaran logis, dan sunnatullah
B.   Saran  
Sebagai generasi bertakwa dan terus menuntut ilmu kita akan semakin menyadari ada banyak hal yang belum kita ketahui. Semakin banyak buku yang kita baca sebagai referensi akan semakin membuka jendela dunia kita. Penelitian hadits oleh para cendekiawan diharapkan mampu membantu kita menatap masa depan yang penuh tantangan. Janganlah kita memaksakan pendapat kepada orang lain terutama kepada para penolak sunnah, kita sebaiknya sedikit demi sedikit memperbanyak pengetahuan kita dan belajar menghargai pendapat orang lain. Dengan begitu pengetahuan yamg kita miliki akan bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.

Daftar Pustaka

Metode Kritik dan Pemaknaan Hadits, PDF, Jurnal Online

Sumbullah, Umi. Kritik Hadis, Pendekatan Historis Metodologis. Malang: UIN Malang Press, 2008.

Yunayar Ilyas, M. Mas’udi. Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis, Yogyakarta: LPPI UMY, 1996.

Baqir, Muhammad. Studi Kritis atas Hadis Nabi, Bandung: Penerbit Mizan, 1996

Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010

Atang Abd. Hakim, Jaih Mubarok. Metodologi Studi Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010

Ramulyo, Idris Mohd. Asas-Asas hokum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2004


[1] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, hal: 237
[2] Op cit, hal: 92
[3] Umi Sumbullah, Kritik Hadis: Pendekatan Historis Metodologis, hal: 14
[4] M. Syuhudi Ismail, Kaidah, hal: 187-188
[5] Op cit, hal: 15

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh Proposal Kegiatan Wisuda dan Pelepasan Peserta Didik tingkat SMA MA

  PROPOSAL KEGIATAN TASYAKURAN PELEPASAN DAN WISUDA KELAS XII MADRASAH ALIYAH HIDAYATULLAH TAHUN PELAJARAN 2021/2022 A.    Latar Belakang Acara Melepas Peserta Didik (Wisuda) merupakan kebijakan strategik madrasah di lingkungan MA Hidayatullah. Acara ini diselenggarakan oleh MA Hidayatullah atas dukungan orangtua peserta didik dengan memberikan sumbangsih perhatian dan kepeduliannya terhadap putri-putri mereka selama belajar di MA Hidayatullah. Kegiatan ini secara mendasar mengacu pada standar proses pendidikan yang mengamanahkan bahwa pendidikan merupakan proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Lebih lanjut disebutkan bahwa peserta didik cenderung berada    pada kebhinekaan budaya,    keragaman    latar    belakang     dan     karakteristik    peserta didik, sehingga diperlukan adanya proses yang interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, ...

English for Foreign Language

“Left Brain and Right Brain” on Adult and Children This Paper is submitted for English for Foreign Language The Lecturer: Win Listyaningrum, M. A At Fifth semeste r Arranged by: Novi Dyah Arisanti 113-14-037 ENGLISH EDUCATION DEPARTMENT TEACHER TRAINING AND EDUCATION FACULTY STATE INSTITUTE FOR ISLAMIC STUDIES SALATIGA 2016/2017 CHAPTER I Introduction A.    Background         Language becomes the most important thing in the communication. Everyday all people connect each other by communication. It is important to learn and increase our ability in the communication way. Communication’s ability is such an obligatory especially in this globalization era.         All part of our bodies is connected each other and has a center which is at our brain. In the brain all information is processed to produce a respond. There are two hemispheres in our brain, left hemisphere and ...

Social Project

Welcome guys.. Long time no see. I would like to present a Social Project of PK-149 Cakra Ananta, Central Java Region. Make sure you have great intention to join with Us... A better person is someone who bring good atmosphere to others. Hopefully, Allah always gives us A better Life. Aamiin. Sincerely, PK-149 Cakra Ananta, Guncangkan Dunia