Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawwuf
Oleh: Prof. Dr. Abubakar Aceh
BAB I
PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN
Perkataan Sufi dan Tasawwuf
Di antara perkataan Dr. Zaki Mubarak tentang sejarah dan asal kata ini mungkin berasal dari Ibn Sauf, seseorang yang dikenal sebagai seorang Arab yang saleh, dan senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhannya bersama Ghaus bin Murr. Mungkin berasal dari perkataan Sufah sebagai nama surat ijazah orang naik haji, mungkin dari kata kerja safa berarti bersih dan suci, atau dari sophia (Yunani) yang berarti hikmah atau filsafat, mungkin pula Suffah, nama suatu ruang dekat Masjid Madinah, mungkin dari suf yang berarti bulu domba, yang biasanya menjadi bahan pakaian orang-orang Sufi dari Syria.
Pengertian terakhir lebih sering disebut dalam cerita orang Sufi Masehi dan Yahudi. Hal ini terkait kebiasaan memakai pakaian dari bulu domba berasal dari kehidupan batin orang-orang Nasrani. Ada cerita mengenai pakaian bulu domba atau suf berasal dari percakapan nabi Isa as dan pengikutnya. Ibnu Sirin menceritakan bahwa nabi Isa as memakai pakaian bulu domba, sedang Rasulullah saw menyukai pakaian yang ditenun dari kapas. Kemudian banyak orang-orang Sufi beragama Islam yang mengambil kebiasaan ini, maka seakan-akan pakaian bulu domba sebagai lambang orang Sufi, kemudian ajaran-ajarannya dinamakan tasawwuf. Pakaian yang pada mulanya menunjukkan kesederhanaan berubah menjadi pakaian adat dalam kehidupan Sufi, konon dipergunakan untuk mencegah ria dan menunjukkan kezuhudan pemakainya. Jika tidak mendapatkannya, mereka menggantinya dengan pakaian compang-camping karena ingin meniru nabi.
Sebaliknya banyak ulama yang tidak melihat tanda khusyu’ atau merendahkan diri dalam mengenakan pakaian bulu domba ini. Junaid mengatakan orang ini memakai baju bulu domba, namun batinnya rusak. Maka ulama zahid dari golongan Islam mengecam pakaian ini. Ma’ruf Al-Karakhi berkata, “Sufikan hatimu atau dirimu!”
Bagaimanapun sejarah perkataan ini namun akhirnya menjadi nama bagi golongan yang mementingkan kebersihan hidup batin, baik bagi orang-orang yang dinamakan orang-orang Sufi, maupun bagi nama ilmunya yang disebut Tasawwuf.
Makna Tasawwuf
Pada hakikatnya tasawwuf dapat diartikan mencari jalan untuk memperoleh kecintaan dan kesempurnaan rohani. Pada mulanya orang sufi ternama juga mengagumi pandangan yang lahir, namun perasaan akan kepuasan lahir itu susut, dan mereka beralih ke dunia rohani. Dunia yang tidak diraba dengan panca indra namun dengan kelezatan perasaan yang halus, ghaib, dan beriringan dengan cinta dan kesempurnaan. Tasawwuf pada zatnya berpindah dari satu keadaan ke keadaan yang lain, pindah dari alam kebendaan bumi ke alam kerohanian langit.
Ada kisah yang menceritakan kegelisahan Ibn Arabi, ia tertarik akan kecantikan seorang gadis dan demikian besar cinta yang ia miliki. Salah satu kalimat yang menceritakan keadaannya terungkap dalam syair, “Demikian rupa, hatiku terpikat olehnya, pikiran dan jiwaku seakan-akan terbelenggu hingga tiap nama yang kusebut, namanyalah yang aku kehendaki, tiap kampung yang kutuju, kampungnyalah seakan-akan yang kumasuki. Namun kesadarannya kembali muncul ketika ia ke Mekkah dan berusaha melepaskan diri dari belenggu syahwat. Maka di sini, ia mulai beralih dari dunia menuju rohani. Di sinilah kesucian pikirannya kembali. Ikhtiar ini sebagai permulaan menjauhkan diri dari kesenangan lahir ke derajat lebih tinggi. Ibn Arabi telah mengalami perubahan, dari cinta kepada makhluk bumi menuju cinta yang lebih tinggi, dan hal ini senantiasa menyertai mimpinya di malam hari. Mimpi ini ibarat mimpi yang diperoleh nabi Yusuf as ketika ia melihat sepuluh bintang, matahari, dan bulan, sujud kepadanya.
Perbedaan kedua khayal ini menurut Dr. Zaki Mubarak seperti perbedaan dua roh, nabi Yusuf as tidak berdusta, namun Ibn Arabi berpanjang-panjang dalam ucapannya. Dari contoh ini kita mengetahui orang sufi meletakkan makna hidup lebih tinggi dari makna hidup biasa. Jika mereka membicarakan masalah hukum dalam Islam, yang dipentingkan ialah tujuan dari hukum itu, ijtihadnya acapkali kelihatan berbeda dengan pengajaran ilmu Fiqh biasa.
Orang-orang tasawwuf melihat syariat sebagai kepentingan bagi orang awam, melihat hakikat itu sebagai kebutuhan orang khawas, sehingga pengajaran syariat merupakan suatu penjelasan bagi hakikat, ilmu Fiqh itu merupakan suatu pembuka bagi pelajaran keadaan hati.
Dalam A-Falsafat Al Qur’aniyyah (Kairo, 1947), Abbas Mahmud Al Aqqad menerangkan, ada di antara pembahas baik di Timur maupun Barat yang berpendapat ajaran tasawwuf dimsukkan ke dalam orang Islam, perkataan tasawwuf ini diambil dari perkataan Yunani, theosophy, yang beraarti hikmah ketuhanan. Mahmud Al-aqqad, membagi tasawwuf menjadi dua bagian, mencari makrifat dan membersihkan jiwa dengan ibadah.
Tidak dapat disangkal memang ada ajaran-ajaran tasawwuf yang datang dari luar Islam, bulul dan wahadatul wujud contohnya. Ini adalah suatu paham dan cara hidup ahli ibadah dan filsafat daerah Iran dan India. Namun menurut Mahmud Al-aqqad hakekat tasawwuf ini ada dasarnya dalamnya Al Qur’an. Dalam Al Qur’an disebut Allah tidak dapat dibandingkan dengan sesuatu, Allah mendengar dan melihat, yang merupakan hikmah ketuhanan tertinggi dalam pelajaran agama. Jadi jika umat Islam membaca ayat Al Qur’an, meniru penganut sufi, dan menuju kejayaan dengan menghindarkan diri dari dunia menuju kepada Tuhan, maka hal ini bukanlah menganut suatu ajaran baru. Al Qur’an membuka pintu hidup kerohanian bagi orang Islam, tidak melarang kehidupan kerohanian bagi orang Islam, namun melarang meninggalkan amalan dan melupakan kehidupan dunia sama sekali.
Tujuan Tasawwuf
Al Ghazali menganggap ilmu tasawwuf sebagai tuntunan mengenal Tuhan dengan sebenar-benarnya (makrifat). Inilah maksud ulama sebagai pewaris nabi, karena ulama senantiasa mengamalkan ilmu yang diperoleh dari nabi. Ilmu sufi mengandung zikir, mengingat dan menyebut Tuhan, sebagai inti dan tujuan semua ilmu dalam kehidupan manusia. Tujuan ilmu tasawwuf adalah membawa manusia setingkat demi setingkat kepada Tuhannya. Menurut al Ghazali ada empat puluh tingkat, dikenal dengan “Minhajul Abidin”, baik dunia maupun akhirat memiliki bagian sama, dua puluh.
Karamah dan Khal’al, selalu mengingat dan menyebut Tuhannya sebagai tingkat pertama, kedua bersyukur membesarkan Tuhannya. Mencintai Tuhan dan dicintai sesama manusia sebagai tingkat ketiga. Tingkat keempat selalu menjadikan Tuhan wakilnya dalam pekerjaan. Beroleh ketentraman dalam mencari rezeki dan dan beroleh pertolongan Tuhan dalam segala gangguan dalam tingkatan lima dan enam. Hati menjadi tentram dan tidak cemas atau takut dalam segala hal di tingkat ke tujuh. Beroleh kemuliaan di dunia dan tidak mengharap kemuliaan manusia, tinggi himmah dan terpelihara dari kecemaran, mulia dan lapang di tingkat delapan, Sembilan, sepuluh. Hingga di tingkat dua puluh berkaitan dengan kehidupan dunia.
Di tingkatan dua puluh satu hingga empat puluh terkait dengan akhirat. Di tahap dua puluh tiga, ruhun wa raihanun, dianugerahkan Tuhan kesenangan dan bau-bauan, ke dua puluh empat kekal di dalam surga serta selalu berhampiran dengan Tuhan yang Pemurah. Tingkatan ke tiga puluh enam ia akan lulus dengan selamat di atas jembatan sirathul mustaqim. Di tingkat empat puluh, ia akan bertemu dengan Tuhan seru sekalian alam.
Dari kitab “Sirus Salikin”, karangan Syekh Abdus Samad Palembang (Mesir, 1330 H) tujuan akhir dari tasawwuf adalah kebahagiaan manusia dunia akhirat dengan puncak bertemu dan melihat Tuhannya. Maka tidak diragukan tasawwuf adalah pusaka keagamaan yang terpenting dengan pokok asal melatih jiwa beribadah dan mendekat kepada Tuhan, menghindari azab neraka sebagai tujuan aslinya. Maka dari tasawwuf pula lahir berbagai ragam ilmu seperti ilmu Fiqh.
Sejarah Kejadian Tasawwuf
Zaman Nabi
Hidup Sufi sudah terdapat pada diri nabi. Sebagaimana keseharian beliau yang sederhana dan menderita, menghabiskan hidupnya untuk ibadah, dalam mendekat kepada Tuhan.
Anggapan umum bangsa Arab masa itu, kebahagiaan adalah harta dan kekayaan. Sekitarnya belum ada yang hidup dalam takwa dan kekayaan rohani. Nabi Muhammad saw yang mengajarkannya pertama kali. Beliau memberi contoh bahwa kekayaan dan kesenangan itu tidak abadi, mengajak mencari kehidupan yang lebih tinggi. Memberi contoh langsung dengan perbuatan dan tingkah laku bukan hanya perintah saja.
Berbagai contoh diberikan oleh manusia terbaik ini, membuka mata teman-temannya untuk melihat tujuan sebenarnya dalam hidup. Membuka semua panca indra untuk melihat percikan cahaya Ilahi yang lebih tinggi sehingga tercipta manusia yang sempurna untuk hidup sederhana.
Muhammad Ridha menceritakan ketika beliau wafat, tidak meninggalkan uang sedirham atau sedinar pun. Batas kaya dan miskin bagi nabi saw adalah: “Barangsiapa berpagi-pagi hari merasa aman di rumahnya, sehat badannya, dan melihat cukup makanannya untuk sehari, maka seakan-akan Tuhan telah mengaruniai orang itu seluruh dunia dan isinya.
Zaman Sesudah Nabi
Dikatakan di dalam sejarah, banyak orang tertarik dengan uraian Huzaifah bin Zaman, seorang sahabat nabi yang terkenal zahid. Ucapan itu mengajak orang berfikir mendalam tentang pengertian keesaan Tuhan maupun rahasia-rahasia manusia. Al Makki menceritakan Huzaifah adalah sesorang yang dianggap khusus, mengetahui banyak ilmu tentang hidup munafik, pengetahuan tentang budi pekerti dan perilaku bangsa Arab. Umar dan Utsman serta sahabat-sahabat nabi yang lain datang kepadanya untuk menanyakan fitnah baik umum maupun khusus, serta menanyakan ilmu yang pelik. Kemudian datanglah Hasan al Basri untuk menuntut ilmu darinya.
Hasan al Basri adalah seorang dari golongan tabi’in yang terbesar dan ternama. Hasan al Basri yang mula-mula merencanakan ilmu tasawwuf. Dia memiliki pribadi yang menarik. Konon ia tidak pernah tertawa selama empat puluh tahun hidupnya. Jika berbicara tentang kehidupan batin, seakan-akan akhirat tampak di depan matanya. Di antara ucapannya yang berjiwa sufi adalah: “Tuhan Allah menjadikan bulan ramadhan sebagai tempat pacuan bagi hambanya untuk taat. Segolongan manusia lulus, maka jayalah mereka. Segolongan gagal maka merugilah mereka. Maka aku heran melihat orang pada hari perlombaan itu, pada hari yang berbuat baik beroleh kemenangan dan yang berbuat jahat beroleh kerugian, orang-orang bergembira ria. Demi Allah, jika terangkat tabir penutup bagi manusia, pasti mereka akan sibuk menyelesaikan kebaikan-kebaikannya.
Hasan al Basri meninggal tahun 110H, sesudah membina usaha Sufi dalam membasmi kesukaran jiwa dan penyakit hati. Ia juga lebih dikenal di daerah Basrah.
Orang-orang Sufi Pertama
Seorang Sufi terkenal dari Baghdad bernama Abu Hamzah. Ia seorang yang ingin merendahkan diri dan membersihkan akhlak. Dapat dikatakan perkataan tasawwuf tidak dikenal sebelum abad 2H. meskipun dalam abad pertama ada perkembangan fikiran dan amalan akan hal itu. Ada seorang ahli Suffah dari abad pertama yang senang berfikir dan beramal misalnya Abu Zar. Namun menurut Shorter Encycl of Islam (Leiden, 1953) dalam masa pertengahan kedua dari abad ke VIII M, kata Sufi yang digunakan sebagai gelar telah menjadi kebiasaan. Di waktu yang sama, menurut Muhasibi dan Jahiz, sudah ada pemakaian kata Sufi oleh orang-orang Syiah anggota gerakan Sufi di kufah. Kemajuan gerakan Sufi begitu cepat meluas, dalam lima puluh tahun saja, semua gerakan batin di Irak, kecuali Malatamiyah di Khurasan telah memakai kata ini. Kemudian dua abad kemudian, kata Sufi memiliki pengertian tertentu dari semua gerakan mistik Islam, sebagaimana Sufisme dipakai di zaman ini.
Tentang pemakaian bulu domba telah menjadi umum sejak tahun 719M, terlepas alasan mula pemakaiannya di masa-masa pertama. Ini menurut Encycl of Islam.
Tentang Mazhab Sufi
Sesudah zaman nabi, berkembang sejarah sufi berdasarkan fikiran, dua mazhab yang muncul. Satu berpusat di Basrah, lainnya di Kufah. Orang-orang di Basrah pembawaannya realis dan kritis dalam cara berpikir, gemar dengan logika. Sedang yang di Kufah, pembawaannya idealis dan tradisionalis, gemar mendalami ilmu bahasa, pengikut Plato dalam syair, dan pengikut mazhab Zahiri dalam mengupas hadits.
Zaman itu juga merupakan suatu masa pertemuan ilmu sufi sengan agama yang pertama kali, munculnya perdebatan ahli Sufi dan ahli Fiqh secara terang-terangan di hadapan kadi Baghdad.
Perkembangan Ajaran Sufi
Tujuan beragama pada masa Rasulullah dan sahabat adalah beribadah untuk kebahagiaan dunia dan akhirat, keseimbangan antara manusia dan Tuhan. Islam telah mencapai tujuan yang sebenarnya dalam masa yang gemilang itu.
Pada abad I H, lahirlah Hasan al Basri yang mengadakan gerakan perubahan rohani kaum muslimin. Abad II H, timbul pula ajaran-ajaran baru yang penuh hikmah. Orang-orang membersihkan jiwa dan tidak mau hanya mengamalkan Fiqh luarnya saja.
Abad III H, orang mulai membicarakan latihan rohani yang dapat membawa manusia kepada Tuhannya. Dan di akhir abad ini, orang mulai berlomba-lomba menyatakan pikirannya tentang kesatuan saksi dan persamaan semua agama. Dan di abad Iii H serta selanjutnya, ilmu tasawwuf bekembang dengan pesat, memiliki pengaruh besar, sehingga kebanyakan penulis memberi corak dan rasa tasawwuf dalam ilmu-ilmunya.
Pengertian Ilmu
Al Ghazali mengupas penafsirannya dalam kitab Ihya Ulumud Din, ada ilmu yang dipelajari untuk beroleh pengetahuan semata (Ilmul mukasyafah) dan ilmu yang dipelajari untuk diamalkan (Ilmul mu’amalah). Sedang ditinjau dari pemakaian ilmu itu sendiri, maka ada ilmu yang tercela dan ada yang berfaedah mempelajarinya.
Mencari ilmu itu pada pokoknya tidak tercela, namun penggunaan ilmu tersebut yang menyebabkan tercela. Sebab tersebut meliputi: 1. Memberi melarat pada penggunanya dan orang lain, contohnya ilmu sihir. 2. Membahayakan sewaktu-waktu jika disalahgunakan, misalnya ilmu nujum untuk menyelakai manusia. 3. Ilmu yang tidak ada batasnya, memusingkan, dan tidak membawa faedah.
Sedikit dari taufik lebih baik daripada ilmu yang banyak. Bagi orang Sufi, ilmu yang berfaedah itu ialah pengamalan (mu’amalah) baik ilmu lahir maupun batin. Ilmu lahir terkait anggota manusia, dan batin terkait keadaan jiwa dan hati manusia. Orang Sufi berkehendak mengembalikan pengertian ilmu sebagaimana mulanya, yaitu mencari keridhaan Allah. Ilmu lahir mengenai amal ibadah dipelajari sekadar mengamalkannya, dan ilmu batin atau tasawwuf digunakan untuk membersihkan diri.
Di akhir zaman nanti, banyak orang yang menutup pintu ilmu amal dan membuka pintu perdebatan. Sedang orang Sufi akan membuka pintu amal dan menutup ilmu perdebatan atau jidal. Lalu dibagilah ilmu pengetahuan menjadi beberapa bagian: syari’at, tharekat, hakikat, dan ma’rifat.
Syari’at
Perkataan syari’at mulanya berarti peraturan agama yang diturunkan oleh Tuhan (Syari’) kepada nabi. Bagi kalangan Sufi, syari’at ialah amal ibadah lahir dan urusan mu’amalat antar sesama manusia. Istilah ini dilahirkan berdasar pokoknya, Al Qur’an, Sunnah, Ijma, dan Qiyas. Memunculkan istilah wajib, sunnat, haram, makruh, dan mubah.
Orang sufi meninjau ibadah dari sudut hikmah yang lebih dalam. Sebagai contoh puasa memiliki tiga tingkatan, awam, khawas, dan khawasul khawas. Secara berturut-turut mereka memaknai puasa dengan sekadar menahan diri dari makan, minum, dan syahwat; diikuti seluruh angggota badan juga harus puasa, dan terakhir membersihkan diri dari hal yang merusak iman dan menghilangkan ikhlas. Jadi bagi orang biasa, mereka melakukan ibadah menurut Fiqh, ilmu syari’at, namun ahli Sufi mengerjakannya dengan penuh hikmah, atau ahli Hakikat.
Thariqat
Menurut ahli Sufi orang tidak sampai pada hakikat sebelum menempuh thariqat. Thariq atau jalan menuju Tuhan, membawa pada kebaikan dunia akhirat. Thariq atau thariqah menurut L. Massignon, berarti cara pendidikan akhlak dan jiwa serta gerakan lengkap pelatihan rohani segolongan orang Islam menurut ajaran dan keyakinan tertentu. Tujuan thariqat adalah mempertebal iman. Dalam perjalanannya mereka harus: ikhlas, muraqabah, muhasabah, tajarrud, isyq, dan hub. Thariqat biasanya tumbuh di zaman manusia mengalami kesukaran, baik jasmani maupun rohani, yang biasanya diiringi kerusakan moral dan akhlak.
Hakikat
Hakikat berasal dari kata haq yang berarti kepunyaan dan kebenaran. Haq bagi orang Sufi dipakai sebagai istilah untuk Allah, yang dianggap sebagai pokok kebenaran dan menyebutnya dengan Haqqul Haqaiq, dalam tingkat lebih agung. Hakikat hanya diperoleh setelah seseorang beroleh ma’rifat yang sesungguhnya. Apabila thariqat telah dijalankan sepenuh hati, sungguh-sungguh, maka bertemulah ia dengan hakikat.
Ma’rifat
Arti ma’rifat sesungguhnya ialah pengetahuan. Ma’rifatullah dapat diartikan dengan tepat mengenal Allah, baik zat, sifat, dan asma Allah. Orang sufi memilki pengertian mendalam tentang ma’rifat. Sebenarnya yang penting adalah hakikat, ma’rifat hanyalah sebagai perantara. Ilmu ma’rifat dibagi dua,ilmu adna, yang dipelajari dengan usaha, membaca dan belajar, sedangkan ilmu laduni yang berasal dari Al Qur’an. Dalam latihan dasar dasar terdapat dasar pendidikan dasar takhalli dan tajalli. Takhalli berarti membersihkan diri yang kasar dan kotor, sedang tajalli artinya tampak nyata melihat segala yang ghaib termasuk rahasia Tuhan.
Fadhilah Ilmu Sufi dan Kitab-kitabnya
Pembagian menuntut ilmu bagi kaum Sufi berdasar tingkatannya. Sebagaimana mereka menganggap tiap orang memilki kemampuan yang berbeda dalam belajar. Hasan (al Basri ?) sangat memuji orang yang belajar ilmu tasawwuf, karena ilmu ini menggiatkan amal, menghidupkan hati, melihat aib diri, maka hendaklah mengutamakan ilmu ini daripada Ilmu lain. Banyak yang akan didapat dari ilmu ini yang tidak didapat dari ilmu lain, seperti perbaikan tingkah laku, niat, kebajikan, melepas kesukaan duniawi, melepas syahwat dalam mengumpulkan harta, memperbanyak zikir dan mendekat kepada Allah dan Rasulullah.
Orang Sufi digambarkan sebagai umat yang beroleh petunjuk khusus dari Tuhan untuk membawa manusia menuju jalan yang benar. ilmu Sufi dianggap ilmu yang penting tapi sangat ringkas dan mudah dicapai. Sebagaimana sabda nabi saw, hendaklah kamu senantiasa mengingat dan zikir kepada Tuhan dalm diri maupun ucapan. Aku dan nabi-nabi sebelumku mengucap zikir “Laailaha Illallah”, karena jika kalimat ini ditimbang dengan tujuh petala langit dan bumi, masih akan jauh lebih berat kalimat zikir Tuhan itu”.
Kitab Pengajaran Sufi
Menurut daftar pengajaran Sufi, murid dibagi tiga kelompok: Mubtadi, orang yang baru mempelajari ilmu syari’at, Mutawasith, dianggap menengah, dan Muntahi, yang telah suci roh dan hatinya. Ditegaskan bahwa mempelajari ilmu hakikat, yang terkait dengan sifat, zat, dan af’al Tuhan dalam segala alam dianggap masalah yang pelik dan sukar. Maka mereka harus mempunyai pengetahuan tentang syariat yang zahir terlebih dahulu, seperti ilmu tauhid, dan usuluddin, ilmu fiqh; serta ilmu syariat yang batin yaitu ilmu tasawwuf dan akhlak.
Tetapi setelah dianggap tiba masanya, mereka sangat dianjurkan mempelajari hal-hal yang dianggap sukar dan pelik itu.
Orang Sufi menganggap suatu fadhilah, amal yang tinggi nilainya mempelajari ilmu Sufi itu, karena ketinggian nilai ilmu itu berada pada kitab yang ada di dalamnya.
BAB II
PANDANGAN SUFI TERHADAP TUHAN
Tuhan dan Mistik Sebelum Islam
Sejarah manusia menerangkan, mencari Tuhan telah ada sejak berabad-abad lamanya. Manusia ingin mengetahui asal mula dunia, Sang Pencipta, dan berbagai pertanyaan lainnya. Dan sebagai umat Islam kita tidak ragu beriman kepada Allah dengan segala sifat dan af’alnya, dengan mengikuti segala perintah dan menjauhi larangan Allah.
Namun, meski ajaran Islam sudah sedemikian lengkapnya, sebagai tuntunan kebahagiaan dunia akhirat, dalam sejarah perkembangannya baik sangaja atau tidak tetap mengalami perbedaan dengan yang murninya.
Ajaran Ketuhanan Persia dan India, Yunani dan Masehi
Al Qur’an pada permulaan Islam diajarkan cukup menuntun kehidupan batin umat Muslimin yang saat itu terbatas jumlahnya. Lambat laun dengan bertambah luasnya daerah dan pemeluknya, Islam kemudian menampung perasaan-perasaan dari luar, dari pemeluk-pemeluk yang sebelum masuk Islam sudah menganut agama-agama yang kuat ajaran kebatinannya dan telah mengikuti ajaran mistik, keyakinan mencari-cari hubungan perseorangan dengan ketuhanan dalam berbagai bentuk dan corak yang ditentukan agama masing-masing. Perasaan mistik yang ada pada kaum Muslim abad dua Hijriah (2H) yang sebagian diantaranya menganut agama non Islam, misal India menganut Hindu, Persi menganut Zoroaster, atau Siria menganut Masehi; tidak ketahuan masuk dalam kehidupan kaum Muslim karena pada diri mereka masih terdapat kehidupan batin yang yang ingin mencari kedekatan diri pribadi dengan Tuhan. Keyakinan dan gerak-gerik akibat paham mistik ini makin hari makin luas dan mendapat sambutan dari kaum Muslim, meski mendapat tantangan dari ahli-ahli dan guru agamanya. Maka dengan jalan demikian berbagai aliran mistik ini, yang pada mulanya berasal dari aliran mistik Masehi, Platonisme, Persi, dan India perlahan-lahan memengaruhi aliran-aliran dari dalam Islam. Sebagaimana di Timur, begitu pun di Barat orang sibuk mencari siapa dan apa yang menjadi pencipta alam ini. Thales, Anaximandros, dan Anaximenes dari Yunani, turut memikirkan apa yang menjadi sebab ada dan tiada, hidup dan mati, alam serta makhluk.
Pengertian Tuhan dalam Agama Islam
Bagi ahli sunnah maupun ahli salaf, tauhid dibagi atas tiga macam, tauhid rububiyah, tauhid uluhiyyah, dan tauhid asma dan sifat Allah. Tauhid Rububiyah berkaitan dengan keyakinan ada yang mencipta dan mengurus alam serta isinya. Tauhid Uluhiyah, tingkatannya lebih tinggi, mereka mengakui bukan hanya adanya pencipta dunia besrta isinya ini, namun semua perbuatan manusia harus bisa dipertanggungjawabkan. Sedang tauhid zat dan asma, keesaan diri dan nama Allah sebagai Pencipta yang tunggal, dengan berbagai sifatnya. Lawan dari tauhid adalah syirik, yang meliputi tiga hal pula. Akbar, Asghar, dan Khafi. Syirik termasuk kufur, pekerjaannya menentang Tuhan, pelakunya disebut Kafir.
Pandangan Ahli Filsafat Ketuhanan
Pada mulanya, ahli filsafat Islam banyak yang dipengaruhi pendapat ahli fikir Yunani. Ahli fikir Yunani pada mulanya menguraikan pendapatnya tentang adanya Tuhan dengan segala ciptaannya. Ahli filsafat Islam kemudian mengupas alam fikiran Yunani dan menyesuaikannya dengan dasar Tauhid dalam ajaran Islam. Tujuan Islam yang pertama, melenyapkan adanya berbilang pada zat Tuhan yang Esa (ta’addud). Maka cukup bagi seorang mukmin untuk keperluan tauhidnya hanya mengaku adanya zat tunggal yang disembah, serta menghindari mempersekutukan Allah. Ibn Sina memberi keterangan tentang zat Allah menurut akal dan ilmu pengetahuan, mengakui sifat Allah yang lengkap, yang tidak ada di alam pikiran Yunani sebelumnya.
Pandangan Ahli Sufi dan Tasawwuf
Pandangan orang Sufi dan Tasawwuf terhadap Tuhan tidak terbatas sebagaimana yang disebut dalam ilmu tauhid biasa. Yang berdasar hukum naqli (ayat Al Qur’an dan hadits) dan hukum aqli. Orang Sufi menerima segala keterangan yang menerangkan Tuhan itu sempurna, sebagai tujuan hidupnya. Dengan cara senantiasa memikirkan dan menyebut Tuhan, orang Sufi berusaha melenyapkan kekurangan dan ketidaksempurnaannya. Banyak cerita yang menunjukkan pandangan Sufi terhadap Tuhan mendalam sekali sehingga tidak dapat disampaikan dengan kata-kata.
Liqa’ dan Ru’yah
Ru’yah merupakan suatu pandangan yang berkeyakinan akan bertemu Tuhan setelah segala perjuangan yang dilakukannya. Kata lain yang sama dengan Ru’yah adalah musyahadah dan liqa’. Dalam pendirian Sufi, manusia yang berbahagia di akhirat akan melihat Tuhan secara nyata.
Diakui untuk sampai pada ru’yah bukanlah hal yang mudah. Berbagai gelombang batin senantiasa menyertainya. Tentu saja semua penganut harus beriman, berIslam, dan Ihsan. Orang Sufi senantiasa melakukan ibadah baik di malam hari, hingga waktunya tak pernah kosong dari beribadah. Bagi jiwa ada tujuh tingkatan, nafsul: amarah, lauwamah, muthma’innah, mulhamah, radhiyah, mardhiyah, dan kamilah.
Wihdatul Wujud
Sumber penciptaan yang tunggal disebut Wihdatul Wujud, sedang keyakinan penciptaan yang tunggal disebut Wajibul Wujud. Ada pula Mumkinul wujud, segala rahasia dan keanehan alam yang tunduk kepada Allah. Setelah adanya ketetapan sekalian ala mini, maka semua yang ada dibagi menjadi dua macam, yang dapat dilihat dan dirasakan panca indra, dan kebalikannya. Pada pembahsan ini, terkait pula dengan sifat wajib Allah.
Al Farabi membagi ilmu agama menjadi dua bagian, Fiqh (Jurisprudence) dan kalam (theology). Al Farabi mengemukakan pendapatnya tentang kehidupan orang Sufi. Menurutnya yang membedakan filsafat Islam dan filsafat lain adalah adanya ajaran tasawwuf yang diselipkan dalam filsafat Islam. Menurut Farabi, tidak semua manusia dapat meningkat ke tingkat kebahagiaan, kecuali jiwanya bersih dan suci. Menurutnya pula ahlus safa terdiri dari ahli filsafat dan nabi-nabi, yang dengan jalan mereka melihat cahaya yang dicari. Menurutnya pula, semua yang ada di dunia juga berada pada tingkatan yang berbeda pula. Ibnu Sina juga memiliki kesamaan terkait pendapatnya dengan Farabi, dalam pendasaran kebahagiaan pada pengajaran dan berfikir, tempat bagi akal dan badan terdapat kebahagiaan. Selain itu, tasawwuf akal berdiri atas dasar filsafat, sebagai paham Sufi dalam aliran filsafat.
BAB III
PANDANGAN SUFI TERHADAP DUNIA
Kejadian Dunia
Selain cerita yang ada dalam Al Qur’an, orang Sufi memiliki cerita karya mereka sendiri tentang sejarah kejadian dunia. Cerita mereka juga sering dipengaruhi oleh pengarang masing-masing. Seperti bagian-bagian dunia yang dibuat berdasar hari tertentu. Mereka juga menggambarkan kehancuran dunia beserta isinya yang didahului tanda-tanda tertentu seperti fitnah yang merajalela dan kehancuran di daratan lainnya. Cerita kehancuran dunia yang mengerikan diharapkan mampu membawa manusia kepada keinsafan menuju Tuhan, bertaubat sebelum pintu taubat itu tertutup yang menyebabkan manusia menyesal dan tidak mampu memperbaikinya lagi. Orang Sufi juga mengatakan mengenai dunia, sebagai tempat persinggahan sementara dan bukan tempat yang abadi sebagai alasan mereka menggambarkan kejadian dunia dengan buruk.
Nilai terhadap Dunia
Orang Sufi melihat dunia ini tidak kekal, sehingga dunia bukanlah tujuan hidup dan perjuangannya. Beberapa hadits yang shahih juga dijadikan rujukan akan kebenaran pandangan ahli Sufi akan dunia. Beberapa alasan orang Sufi yang menguatkan kebenciannya terhadap dunia adalah, “Dunia itu kampung bagi orang yang tidak memilki tempat tinggal, harta bagi mereka yang tidak memiliki apa-apa, di dalam dunia itu dikumpulkan orang-orang yang tidak berakal dan berilmu, pikiran orang yang saling membenci, dan ke sanalah pergi berduyun-duyun orang yang tidak mempunyai keyakinan yang kokoh. Orang-orang Sufi juga mengambil contoh kehidupan zahid dan faqir dari cerita dan ucapan para nabi, nabi Isa as dan Ibrahim as contohnya. Gambaran dan pandangan mereka tentang dunia sebagaimana diutarakan oleh Yunus bin Abul A’la: “Dunia dibandingkan dengan seorang tidur, ia melihat dalam tidurnya, apa yang digemari dan dibenci, sementara ia pun terjaga, segala yang dialaminya pun lenyap”.
Al Qur’an terhadap Dunia
Guru Sufi adalah orang yang ahli dalam memberikan gambaran suasana dengan baik. Ayat Al Qur’an banyak memberi penilaian rendah akan dunia. Rasulullah sendiri menunjukkan contoh tidak begitu gemar akan dunia.
BAB IV
PANDANGAN SUFI TERHADAP MANUSIA
Teori Nur Muhammad
Dalam hubungan kisah kejadian dunia dan manusia, orang-orang Sufi membuat teori sendiri tentang nur Muhammad, yang dinamakan Roh terbesar, yang dijadikan Allah sebelum menjadikan segala sesuatu. Para guru menceritakan rahasia kisah ilmu dan amsalnya kepada murid-muridnya. Cerita di atas bahkan telah berkembang luas kea lam pikiran Sufi, baik di dalam maupun luar Indonesia. Bahkan mereka mengatakan, kejadian Adam pun berasal dari nabi Muhammad ini.
Adam sebagai Bapak Manusia
Sebagaimana keyakinan orang Sufi bahwa manusia itu keturunan Adam dan Hawa, kaum muslimin pun berpendapat demikian. Dalam cerita kejadian Adam, kaum Sufi biasanya bercerita dengan hal luar biasa. Mereka mengatakan Adam as dijadikan dari air, api, angin, tanah, ditambah dengan cerita yang dimaksutkan memperbaiki tingkah laku manusia. Sebagai buah dari peniupan roh, manusia memilki sifat yang baik seperti benar, amanah, dapat dipercaya, syaja’ah, berani mepertahankan keadilan, dan lain-lain. Kadang cerita yang mereka sampaikan, kita tidak dapat menemukan dalilnya, namun itu semua semata-mata untuk membangun perhatian daan perasaan, bukan mencari alasan mana agama yang kuat dan mana yang lemah.
Manusia dan Tabiatnya
Orang Sufi mengembalikan sifat dan tabiat manusia kepada asal kejadiannya dari bermacam sifat tanah yang dipakai untuk menjadikan Adam as. Mereka membagi manusia dalam empat tahap, manusia ciptaan asli (haiwaniyah), sesudah itu beragama dan mengenal Tuhan (Insaniyah), manusia bersifat kebendaan yang tidak bisa ditundukkan dengan kekerasan (maddiyah), dan terakhir sesudah rohnya diselamatkan dari pikiran kotor dan keji ia menjelma menjadi manusia ruhiyah.
Diakui atau tidak, orang Sufi memilki kelebihan disbanding manusia biasa, seperti rasa yang lebih mendalam, memberatkan diri dalam beribadah, menghindari omong kosong dan perbuatan dosa, keyakinan yang sungguh-sungguh, dan sebagainya.
Mu’jizat dan Keramat
Orang Sufi memiliki keyakinan bahwa para wali mempunyai keistimewaan. Mereka di saat tertentu dapat melakukan hal yang luar biasa yang tidak dapat dilakukan manusia biasa. Pekerjaan luar biasa ini dinamakan keramat. Kata ini diambil dari bahasa Arab yang berarti tidak lebih dan tidak kurang dari pengertian mulia, murah, dan tinggi budi. Dalam kitab tasawwuf, arti keramat adalah pekerjaan atau keadaan di luar akal manusia. Keramat juga bisa muncul dari hamba biasa yang shalih, selalu mengikuti syariat nabi saw, senantiasa mengerjakan ibadah dan amal salih. Perbedaannya dengan nabi saw adalah, orang keramat tidak ma’sum atau terpelihara dari pekerjaan jahat atau mahfuz yang berarti terpelihara dari berbuat maksiat. Ghazali menceritakan bahwa tidak ada perbedaan dalam kejadian mu’jizat, keramat, dan sihir. Perbedaannya karena nabi dan wali memilki jalan hidup yang baik dan tukang sihir sebaliknya.
Wali dan Qutub
Wali memilki kedudukan yang tinggi karena kehidupan yang murni dan amal yang saleh sepanjang ajaran Allah dan Rasulullah. Kadang mereka menjadikan wali sebagai perantara manusia biasa dengan Tuhan yang dikenal dengan tawassul. Sebagaima nabi saw sebagai penghubung dengan Tuhan untuk menyampaikan permintaan dan hajat. Memang kedudukan yang baik di dunia dan akhirat dijanjikan untuk para wali atau aulia Allah. Kebahagiaan yang begitu besarnya mereka peroleh karena di dunia mereka tidak putusnya bershalawat, sebagai amalan terpokok, dan amalan lain seperti tasbih dan tahmid tak terhingga kiranya.
BAB V
NABI MUHAMMAD SAW DAN SUFI
Ajaran Hidup Zuhud
Zuhud artinya tidak ingin, tidak tertarik kepada dunia, kemegahan, harta dunia dan pangkat. Kemudian muncul kalimat zuhhad sebagaimana ‘abad terjadi dari kata ‘ubbad, yang berarti orang yang mengabdikan dirinya semata-mata kepada Tuhan.
Zuhudlah terhadap dunia, supaya Tuhan mencintaimu. Dan zuhudlah pada apa yang ada di tangan manusia, supaya manusia cinta engkau. (Ibnu Majah, Thabrani, Baihaqi)
Nabi Muhammad Saw
Meski nama sufi dan tasawwuf belum dikenal orang abad pertama Islam, tapi kehidupan Sufi telah melekat pada diri nabi saw beserta sahabat. Pelajaran dan pengangkatan nabi sebagai Rasul, diperantarakan melalui malaikat Jibril. Muhammad merasa takut menerima amanat dan beban berat sebagai nabi sekaligus Rasul yang bertugas menyampaikan ke manusia. Meski di awal kehadirannya, bangsa Arab belum sepenuhnya melepas keyakinan nenek moyang, namun lambat laun bertauhid dengan sungguh-sungguh.
Dunia dalam Al Qur’an
Al Qur’an merupakan pokok terpenting bagi kehidupan Sufi nabi dan sahabat, karena di dalam Al Qur’an terdapat keterangan akan buruknya dunia secara panjang lebar.al Qur’an tidak bosan-bosannya memperingatkan kehidupan dunia yang tidak abadi, semua akan kembali kepada Tuhan Penciptanya. Maka ini menunjukkan Al Qur’an membantu menuju kehidupan rohani. Segala doa, sembahyang, hidup dan mati diperuntukkan kepada Allah semata.
Sahabat- Sahabat Nabi
Sebagaimana nabi saw, sahabat-sahabat nabi juga memiliki kehidupan Sufi. Tertutama Khulafaur Rasyidin dan sahabat yang lain, Bilal, Abu Ubaidah, Hazaifah bin Zaman, dan sebagainya.
Abu Bakar Shiddiq
Abu Bakar adalah yang terdekat kepada Nabi saw, seorang yang pertama memeluk agama Islam di antara orang laki-laki yang dewasa. Abu Bakar juga menghabiskan semua kekayaannya untuk beramal di atas jalan Allah. Mempunyai akhlak serta budi pekerti yang terpuji. Imannya sangat kuat dan Islamnya sangat kokoh. Sangat taqwa dan saleh. Tatkala nabi wafat, Abu Bakarlah yang ditunjuk sebagai imam masjid. Sikapnya yang dapat mengatasi pertentangan paham, menunjukkan ia seorang negarawan yang tinggi.
Umar ibn Khattab
Umar mempunyai riwayat hidup yang aneh dalam Islam dan dikenal sebagai pahlawan Quraisy yang gagah dan sebagai seorang dari dua Umar yang disegani. Kedua Umar itu adalah Umar ibn Khattab dan Umar ibn Hisyam.
Sebagaimana doa nabi saw, “Ya Allah perkuatlah Islam dengan salah seorang dari dua Umar!”. Sejarah perjuangan Umar dan sejarah pribadinya sangat istimewa sebagai pembesar Islam.
Usman bin Affan
Sebelum Islam, Usman adalah seorang yang kaya raya. Setelah masuk Islam ia menjadi seorang yang sederhana karena semua harta bendanya dipergunakan untuk perjuangan Islam. Konon diceritakan istrinya tidak memiliki apa-apa di rumah untuk dimasak. Namun ia tetap sabar dan ikhlas. Bahkan setelah menjadi khalifahpun, Umar tetaplah seorang yang merendahkan hati dan sabar. Setelah ia wafat barulah jihad yang selama ini dilaksanakan kemudian berhenti.
Ali ibn Abi Thalib
Sahabat yang sangat terdekat hubungannya dengan Rasul. Sosok yang telah menerima ilmu yang sukar yang diajarkan nabi saw. Selalu melatih diri dalam kesucian dan kesederhanaan. Tidak ada yang lebih berani dalam perang Islam melainkan Ali ibn abi Thalib. Hingga ia mendapat gelar Singa Allah. Ia menikah dengan Fatimah yang sebagaimana ayahnya berlaku sederhana, penuh kesucian, dan kemurnian.
BAB VI
CONTOH AHLI BAIT
ZAINAL ABIDIN
Seorang yang diagungkan dalam dunia Sufi adalah Zainal Abidin, cicit dari nabi Muhammad saw. Dia adalah anak dari husein bin Alin ibn Abi Thalib. Dinamakan Ibnal Khairataini, anak dua kebaikan. Dia sangat hormat kepada ibunya hingga membuat orang lain heran. Ia dianggap terlalu banyak berbuat baik terhadap orang miskin dan senantiasa mempersembahkan baktinya untuk Tuhan. Gambaran kesufian jiwanya membuat ia dihargai orang-orang Sufi lain.
BAB VII
Hal-Hal yang harus diperhatikan murid terhadap Guru
Tunduk dan hormat kepada guru
Tidak boleh menentang atau menolak perintah baik dari guru
Memperbaiki niat dengan ikhlas semata mengharap Ridha Allah
Tidak boleh menggunjing, atau membicarakan keburukan guru
Selalu mengingat guru di manapun berada
Tidak boleh menyiarkan rahasia guru
Mengunjungi guru dan keluarga
Tidak boleh menjual atau memberikan kepada orang lain hadiah atau pemberian dari guru
Tidak boleh banyak bicara di depan guru
Tidak boleh berbicara keras di hadapan guru.
Inilah sekilas tentang Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawwuf. Di dalam buku beliau, Abubakar Aceh juga menyertai tokoh tasawwuf dari berbagai kalangan, baik sahabat nabi dan generasi penerusnya, ahli Sufi Thariqah, dari Iran, Mesir dan Syam, serta Pelaksanaan Thariqat digambarkan dengan gamblang di sini. Aliran aliran Sufi di Indonesia baik wali songo dan gerakan batin di Indonesia disampaikan di halaman-halaman terakhir. Serta ada pula adab ataupun interaksi sosial yang disampaikan dalam buku ini.
Oleh: Prof. Dr. Abubakar Aceh
BAB I
PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN
Perkataan Sufi dan Tasawwuf
Di antara perkataan Dr. Zaki Mubarak tentang sejarah dan asal kata ini mungkin berasal dari Ibn Sauf, seseorang yang dikenal sebagai seorang Arab yang saleh, dan senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhannya bersama Ghaus bin Murr. Mungkin berasal dari perkataan Sufah sebagai nama surat ijazah orang naik haji, mungkin dari kata kerja safa berarti bersih dan suci, atau dari sophia (Yunani) yang berarti hikmah atau filsafat, mungkin pula Suffah, nama suatu ruang dekat Masjid Madinah, mungkin dari suf yang berarti bulu domba, yang biasanya menjadi bahan pakaian orang-orang Sufi dari Syria.
Pengertian terakhir lebih sering disebut dalam cerita orang Sufi Masehi dan Yahudi. Hal ini terkait kebiasaan memakai pakaian dari bulu domba berasal dari kehidupan batin orang-orang Nasrani. Ada cerita mengenai pakaian bulu domba atau suf berasal dari percakapan nabi Isa as dan pengikutnya. Ibnu Sirin menceritakan bahwa nabi Isa as memakai pakaian bulu domba, sedang Rasulullah saw menyukai pakaian yang ditenun dari kapas. Kemudian banyak orang-orang Sufi beragama Islam yang mengambil kebiasaan ini, maka seakan-akan pakaian bulu domba sebagai lambang orang Sufi, kemudian ajaran-ajarannya dinamakan tasawwuf. Pakaian yang pada mulanya menunjukkan kesederhanaan berubah menjadi pakaian adat dalam kehidupan Sufi, konon dipergunakan untuk mencegah ria dan menunjukkan kezuhudan pemakainya. Jika tidak mendapatkannya, mereka menggantinya dengan pakaian compang-camping karena ingin meniru nabi.
Sebaliknya banyak ulama yang tidak melihat tanda khusyu’ atau merendahkan diri dalam mengenakan pakaian bulu domba ini. Junaid mengatakan orang ini memakai baju bulu domba, namun batinnya rusak. Maka ulama zahid dari golongan Islam mengecam pakaian ini. Ma’ruf Al-Karakhi berkata, “Sufikan hatimu atau dirimu!”
Bagaimanapun sejarah perkataan ini namun akhirnya menjadi nama bagi golongan yang mementingkan kebersihan hidup batin, baik bagi orang-orang yang dinamakan orang-orang Sufi, maupun bagi nama ilmunya yang disebut Tasawwuf.
Makna Tasawwuf
Pada hakikatnya tasawwuf dapat diartikan mencari jalan untuk memperoleh kecintaan dan kesempurnaan rohani. Pada mulanya orang sufi ternama juga mengagumi pandangan yang lahir, namun perasaan akan kepuasan lahir itu susut, dan mereka beralih ke dunia rohani. Dunia yang tidak diraba dengan panca indra namun dengan kelezatan perasaan yang halus, ghaib, dan beriringan dengan cinta dan kesempurnaan. Tasawwuf pada zatnya berpindah dari satu keadaan ke keadaan yang lain, pindah dari alam kebendaan bumi ke alam kerohanian langit.
Ada kisah yang menceritakan kegelisahan Ibn Arabi, ia tertarik akan kecantikan seorang gadis dan demikian besar cinta yang ia miliki. Salah satu kalimat yang menceritakan keadaannya terungkap dalam syair, “Demikian rupa, hatiku terpikat olehnya, pikiran dan jiwaku seakan-akan terbelenggu hingga tiap nama yang kusebut, namanyalah yang aku kehendaki, tiap kampung yang kutuju, kampungnyalah seakan-akan yang kumasuki. Namun kesadarannya kembali muncul ketika ia ke Mekkah dan berusaha melepaskan diri dari belenggu syahwat. Maka di sini, ia mulai beralih dari dunia menuju rohani. Di sinilah kesucian pikirannya kembali. Ikhtiar ini sebagai permulaan menjauhkan diri dari kesenangan lahir ke derajat lebih tinggi. Ibn Arabi telah mengalami perubahan, dari cinta kepada makhluk bumi menuju cinta yang lebih tinggi, dan hal ini senantiasa menyertai mimpinya di malam hari. Mimpi ini ibarat mimpi yang diperoleh nabi Yusuf as ketika ia melihat sepuluh bintang, matahari, dan bulan, sujud kepadanya.
Perbedaan kedua khayal ini menurut Dr. Zaki Mubarak seperti perbedaan dua roh, nabi Yusuf as tidak berdusta, namun Ibn Arabi berpanjang-panjang dalam ucapannya. Dari contoh ini kita mengetahui orang sufi meletakkan makna hidup lebih tinggi dari makna hidup biasa. Jika mereka membicarakan masalah hukum dalam Islam, yang dipentingkan ialah tujuan dari hukum itu, ijtihadnya acapkali kelihatan berbeda dengan pengajaran ilmu Fiqh biasa.
Orang-orang tasawwuf melihat syariat sebagai kepentingan bagi orang awam, melihat hakikat itu sebagai kebutuhan orang khawas, sehingga pengajaran syariat merupakan suatu penjelasan bagi hakikat, ilmu Fiqh itu merupakan suatu pembuka bagi pelajaran keadaan hati.
Dalam A-Falsafat Al Qur’aniyyah (Kairo, 1947), Abbas Mahmud Al Aqqad menerangkan, ada di antara pembahas baik di Timur maupun Barat yang berpendapat ajaran tasawwuf dimsukkan ke dalam orang Islam, perkataan tasawwuf ini diambil dari perkataan Yunani, theosophy, yang beraarti hikmah ketuhanan. Mahmud Al-aqqad, membagi tasawwuf menjadi dua bagian, mencari makrifat dan membersihkan jiwa dengan ibadah.
Tidak dapat disangkal memang ada ajaran-ajaran tasawwuf yang datang dari luar Islam, bulul dan wahadatul wujud contohnya. Ini adalah suatu paham dan cara hidup ahli ibadah dan filsafat daerah Iran dan India. Namun menurut Mahmud Al-aqqad hakekat tasawwuf ini ada dasarnya dalamnya Al Qur’an. Dalam Al Qur’an disebut Allah tidak dapat dibandingkan dengan sesuatu, Allah mendengar dan melihat, yang merupakan hikmah ketuhanan tertinggi dalam pelajaran agama. Jadi jika umat Islam membaca ayat Al Qur’an, meniru penganut sufi, dan menuju kejayaan dengan menghindarkan diri dari dunia menuju kepada Tuhan, maka hal ini bukanlah menganut suatu ajaran baru. Al Qur’an membuka pintu hidup kerohanian bagi orang Islam, tidak melarang kehidupan kerohanian bagi orang Islam, namun melarang meninggalkan amalan dan melupakan kehidupan dunia sama sekali.
Tujuan Tasawwuf
Al Ghazali menganggap ilmu tasawwuf sebagai tuntunan mengenal Tuhan dengan sebenar-benarnya (makrifat). Inilah maksud ulama sebagai pewaris nabi, karena ulama senantiasa mengamalkan ilmu yang diperoleh dari nabi. Ilmu sufi mengandung zikir, mengingat dan menyebut Tuhan, sebagai inti dan tujuan semua ilmu dalam kehidupan manusia. Tujuan ilmu tasawwuf adalah membawa manusia setingkat demi setingkat kepada Tuhannya. Menurut al Ghazali ada empat puluh tingkat, dikenal dengan “Minhajul Abidin”, baik dunia maupun akhirat memiliki bagian sama, dua puluh.
Karamah dan Khal’al, selalu mengingat dan menyebut Tuhannya sebagai tingkat pertama, kedua bersyukur membesarkan Tuhannya. Mencintai Tuhan dan dicintai sesama manusia sebagai tingkat ketiga. Tingkat keempat selalu menjadikan Tuhan wakilnya dalam pekerjaan. Beroleh ketentraman dalam mencari rezeki dan dan beroleh pertolongan Tuhan dalam segala gangguan dalam tingkatan lima dan enam. Hati menjadi tentram dan tidak cemas atau takut dalam segala hal di tingkat ke tujuh. Beroleh kemuliaan di dunia dan tidak mengharap kemuliaan manusia, tinggi himmah dan terpelihara dari kecemaran, mulia dan lapang di tingkat delapan, Sembilan, sepuluh. Hingga di tingkat dua puluh berkaitan dengan kehidupan dunia.
Di tingkatan dua puluh satu hingga empat puluh terkait dengan akhirat. Di tahap dua puluh tiga, ruhun wa raihanun, dianugerahkan Tuhan kesenangan dan bau-bauan, ke dua puluh empat kekal di dalam surga serta selalu berhampiran dengan Tuhan yang Pemurah. Tingkatan ke tiga puluh enam ia akan lulus dengan selamat di atas jembatan sirathul mustaqim. Di tingkat empat puluh, ia akan bertemu dengan Tuhan seru sekalian alam.
Dari kitab “Sirus Salikin”, karangan Syekh Abdus Samad Palembang (Mesir, 1330 H) tujuan akhir dari tasawwuf adalah kebahagiaan manusia dunia akhirat dengan puncak bertemu dan melihat Tuhannya. Maka tidak diragukan tasawwuf adalah pusaka keagamaan yang terpenting dengan pokok asal melatih jiwa beribadah dan mendekat kepada Tuhan, menghindari azab neraka sebagai tujuan aslinya. Maka dari tasawwuf pula lahir berbagai ragam ilmu seperti ilmu Fiqh.
Sejarah Kejadian Tasawwuf
Zaman Nabi
Hidup Sufi sudah terdapat pada diri nabi. Sebagaimana keseharian beliau yang sederhana dan menderita, menghabiskan hidupnya untuk ibadah, dalam mendekat kepada Tuhan.
Anggapan umum bangsa Arab masa itu, kebahagiaan adalah harta dan kekayaan. Sekitarnya belum ada yang hidup dalam takwa dan kekayaan rohani. Nabi Muhammad saw yang mengajarkannya pertama kali. Beliau memberi contoh bahwa kekayaan dan kesenangan itu tidak abadi, mengajak mencari kehidupan yang lebih tinggi. Memberi contoh langsung dengan perbuatan dan tingkah laku bukan hanya perintah saja.
Berbagai contoh diberikan oleh manusia terbaik ini, membuka mata teman-temannya untuk melihat tujuan sebenarnya dalam hidup. Membuka semua panca indra untuk melihat percikan cahaya Ilahi yang lebih tinggi sehingga tercipta manusia yang sempurna untuk hidup sederhana.
Muhammad Ridha menceritakan ketika beliau wafat, tidak meninggalkan uang sedirham atau sedinar pun. Batas kaya dan miskin bagi nabi saw adalah: “Barangsiapa berpagi-pagi hari merasa aman di rumahnya, sehat badannya, dan melihat cukup makanannya untuk sehari, maka seakan-akan Tuhan telah mengaruniai orang itu seluruh dunia dan isinya.
Zaman Sesudah Nabi
Dikatakan di dalam sejarah, banyak orang tertarik dengan uraian Huzaifah bin Zaman, seorang sahabat nabi yang terkenal zahid. Ucapan itu mengajak orang berfikir mendalam tentang pengertian keesaan Tuhan maupun rahasia-rahasia manusia. Al Makki menceritakan Huzaifah adalah sesorang yang dianggap khusus, mengetahui banyak ilmu tentang hidup munafik, pengetahuan tentang budi pekerti dan perilaku bangsa Arab. Umar dan Utsman serta sahabat-sahabat nabi yang lain datang kepadanya untuk menanyakan fitnah baik umum maupun khusus, serta menanyakan ilmu yang pelik. Kemudian datanglah Hasan al Basri untuk menuntut ilmu darinya.
Hasan al Basri adalah seorang dari golongan tabi’in yang terbesar dan ternama. Hasan al Basri yang mula-mula merencanakan ilmu tasawwuf. Dia memiliki pribadi yang menarik. Konon ia tidak pernah tertawa selama empat puluh tahun hidupnya. Jika berbicara tentang kehidupan batin, seakan-akan akhirat tampak di depan matanya. Di antara ucapannya yang berjiwa sufi adalah: “Tuhan Allah menjadikan bulan ramadhan sebagai tempat pacuan bagi hambanya untuk taat. Segolongan manusia lulus, maka jayalah mereka. Segolongan gagal maka merugilah mereka. Maka aku heran melihat orang pada hari perlombaan itu, pada hari yang berbuat baik beroleh kemenangan dan yang berbuat jahat beroleh kerugian, orang-orang bergembira ria. Demi Allah, jika terangkat tabir penutup bagi manusia, pasti mereka akan sibuk menyelesaikan kebaikan-kebaikannya.
Hasan al Basri meninggal tahun 110H, sesudah membina usaha Sufi dalam membasmi kesukaran jiwa dan penyakit hati. Ia juga lebih dikenal di daerah Basrah.
Orang-orang Sufi Pertama
Seorang Sufi terkenal dari Baghdad bernama Abu Hamzah. Ia seorang yang ingin merendahkan diri dan membersihkan akhlak. Dapat dikatakan perkataan tasawwuf tidak dikenal sebelum abad 2H. meskipun dalam abad pertama ada perkembangan fikiran dan amalan akan hal itu. Ada seorang ahli Suffah dari abad pertama yang senang berfikir dan beramal misalnya Abu Zar. Namun menurut Shorter Encycl of Islam (Leiden, 1953) dalam masa pertengahan kedua dari abad ke VIII M, kata Sufi yang digunakan sebagai gelar telah menjadi kebiasaan. Di waktu yang sama, menurut Muhasibi dan Jahiz, sudah ada pemakaian kata Sufi oleh orang-orang Syiah anggota gerakan Sufi di kufah. Kemajuan gerakan Sufi begitu cepat meluas, dalam lima puluh tahun saja, semua gerakan batin di Irak, kecuali Malatamiyah di Khurasan telah memakai kata ini. Kemudian dua abad kemudian, kata Sufi memiliki pengertian tertentu dari semua gerakan mistik Islam, sebagaimana Sufisme dipakai di zaman ini.
Tentang pemakaian bulu domba telah menjadi umum sejak tahun 719M, terlepas alasan mula pemakaiannya di masa-masa pertama. Ini menurut Encycl of Islam.
Tentang Mazhab Sufi
Sesudah zaman nabi, berkembang sejarah sufi berdasarkan fikiran, dua mazhab yang muncul. Satu berpusat di Basrah, lainnya di Kufah. Orang-orang di Basrah pembawaannya realis dan kritis dalam cara berpikir, gemar dengan logika. Sedang yang di Kufah, pembawaannya idealis dan tradisionalis, gemar mendalami ilmu bahasa, pengikut Plato dalam syair, dan pengikut mazhab Zahiri dalam mengupas hadits.
Zaman itu juga merupakan suatu masa pertemuan ilmu sufi sengan agama yang pertama kali, munculnya perdebatan ahli Sufi dan ahli Fiqh secara terang-terangan di hadapan kadi Baghdad.
Perkembangan Ajaran Sufi
Tujuan beragama pada masa Rasulullah dan sahabat adalah beribadah untuk kebahagiaan dunia dan akhirat, keseimbangan antara manusia dan Tuhan. Islam telah mencapai tujuan yang sebenarnya dalam masa yang gemilang itu.
Pada abad I H, lahirlah Hasan al Basri yang mengadakan gerakan perubahan rohani kaum muslimin. Abad II H, timbul pula ajaran-ajaran baru yang penuh hikmah. Orang-orang membersihkan jiwa dan tidak mau hanya mengamalkan Fiqh luarnya saja.
Abad III H, orang mulai membicarakan latihan rohani yang dapat membawa manusia kepada Tuhannya. Dan di akhir abad ini, orang mulai berlomba-lomba menyatakan pikirannya tentang kesatuan saksi dan persamaan semua agama. Dan di abad Iii H serta selanjutnya, ilmu tasawwuf bekembang dengan pesat, memiliki pengaruh besar, sehingga kebanyakan penulis memberi corak dan rasa tasawwuf dalam ilmu-ilmunya.
Pengertian Ilmu
Al Ghazali mengupas penafsirannya dalam kitab Ihya Ulumud Din, ada ilmu yang dipelajari untuk beroleh pengetahuan semata (Ilmul mukasyafah) dan ilmu yang dipelajari untuk diamalkan (Ilmul mu’amalah). Sedang ditinjau dari pemakaian ilmu itu sendiri, maka ada ilmu yang tercela dan ada yang berfaedah mempelajarinya.
Mencari ilmu itu pada pokoknya tidak tercela, namun penggunaan ilmu tersebut yang menyebabkan tercela. Sebab tersebut meliputi: 1. Memberi melarat pada penggunanya dan orang lain, contohnya ilmu sihir. 2. Membahayakan sewaktu-waktu jika disalahgunakan, misalnya ilmu nujum untuk menyelakai manusia. 3. Ilmu yang tidak ada batasnya, memusingkan, dan tidak membawa faedah.
Sedikit dari taufik lebih baik daripada ilmu yang banyak. Bagi orang Sufi, ilmu yang berfaedah itu ialah pengamalan (mu’amalah) baik ilmu lahir maupun batin. Ilmu lahir terkait anggota manusia, dan batin terkait keadaan jiwa dan hati manusia. Orang Sufi berkehendak mengembalikan pengertian ilmu sebagaimana mulanya, yaitu mencari keridhaan Allah. Ilmu lahir mengenai amal ibadah dipelajari sekadar mengamalkannya, dan ilmu batin atau tasawwuf digunakan untuk membersihkan diri.
Di akhir zaman nanti, banyak orang yang menutup pintu ilmu amal dan membuka pintu perdebatan. Sedang orang Sufi akan membuka pintu amal dan menutup ilmu perdebatan atau jidal. Lalu dibagilah ilmu pengetahuan menjadi beberapa bagian: syari’at, tharekat, hakikat, dan ma’rifat.
Syari’at
Perkataan syari’at mulanya berarti peraturan agama yang diturunkan oleh Tuhan (Syari’) kepada nabi. Bagi kalangan Sufi, syari’at ialah amal ibadah lahir dan urusan mu’amalat antar sesama manusia. Istilah ini dilahirkan berdasar pokoknya, Al Qur’an, Sunnah, Ijma, dan Qiyas. Memunculkan istilah wajib, sunnat, haram, makruh, dan mubah.
Orang sufi meninjau ibadah dari sudut hikmah yang lebih dalam. Sebagai contoh puasa memiliki tiga tingkatan, awam, khawas, dan khawasul khawas. Secara berturut-turut mereka memaknai puasa dengan sekadar menahan diri dari makan, minum, dan syahwat; diikuti seluruh angggota badan juga harus puasa, dan terakhir membersihkan diri dari hal yang merusak iman dan menghilangkan ikhlas. Jadi bagi orang biasa, mereka melakukan ibadah menurut Fiqh, ilmu syari’at, namun ahli Sufi mengerjakannya dengan penuh hikmah, atau ahli Hakikat.
Thariqat
Menurut ahli Sufi orang tidak sampai pada hakikat sebelum menempuh thariqat. Thariq atau jalan menuju Tuhan, membawa pada kebaikan dunia akhirat. Thariq atau thariqah menurut L. Massignon, berarti cara pendidikan akhlak dan jiwa serta gerakan lengkap pelatihan rohani segolongan orang Islam menurut ajaran dan keyakinan tertentu. Tujuan thariqat adalah mempertebal iman. Dalam perjalanannya mereka harus: ikhlas, muraqabah, muhasabah, tajarrud, isyq, dan hub. Thariqat biasanya tumbuh di zaman manusia mengalami kesukaran, baik jasmani maupun rohani, yang biasanya diiringi kerusakan moral dan akhlak.
Hakikat
Hakikat berasal dari kata haq yang berarti kepunyaan dan kebenaran. Haq bagi orang Sufi dipakai sebagai istilah untuk Allah, yang dianggap sebagai pokok kebenaran dan menyebutnya dengan Haqqul Haqaiq, dalam tingkat lebih agung. Hakikat hanya diperoleh setelah seseorang beroleh ma’rifat yang sesungguhnya. Apabila thariqat telah dijalankan sepenuh hati, sungguh-sungguh, maka bertemulah ia dengan hakikat.
Ma’rifat
Arti ma’rifat sesungguhnya ialah pengetahuan. Ma’rifatullah dapat diartikan dengan tepat mengenal Allah, baik zat, sifat, dan asma Allah. Orang sufi memilki pengertian mendalam tentang ma’rifat. Sebenarnya yang penting adalah hakikat, ma’rifat hanyalah sebagai perantara. Ilmu ma’rifat dibagi dua,ilmu adna, yang dipelajari dengan usaha, membaca dan belajar, sedangkan ilmu laduni yang berasal dari Al Qur’an. Dalam latihan dasar dasar terdapat dasar pendidikan dasar takhalli dan tajalli. Takhalli berarti membersihkan diri yang kasar dan kotor, sedang tajalli artinya tampak nyata melihat segala yang ghaib termasuk rahasia Tuhan.
Fadhilah Ilmu Sufi dan Kitab-kitabnya
Pembagian menuntut ilmu bagi kaum Sufi berdasar tingkatannya. Sebagaimana mereka menganggap tiap orang memilki kemampuan yang berbeda dalam belajar. Hasan (al Basri ?) sangat memuji orang yang belajar ilmu tasawwuf, karena ilmu ini menggiatkan amal, menghidupkan hati, melihat aib diri, maka hendaklah mengutamakan ilmu ini daripada Ilmu lain. Banyak yang akan didapat dari ilmu ini yang tidak didapat dari ilmu lain, seperti perbaikan tingkah laku, niat, kebajikan, melepas kesukaan duniawi, melepas syahwat dalam mengumpulkan harta, memperbanyak zikir dan mendekat kepada Allah dan Rasulullah.
Orang Sufi digambarkan sebagai umat yang beroleh petunjuk khusus dari Tuhan untuk membawa manusia menuju jalan yang benar. ilmu Sufi dianggap ilmu yang penting tapi sangat ringkas dan mudah dicapai. Sebagaimana sabda nabi saw, hendaklah kamu senantiasa mengingat dan zikir kepada Tuhan dalm diri maupun ucapan. Aku dan nabi-nabi sebelumku mengucap zikir “Laailaha Illallah”, karena jika kalimat ini ditimbang dengan tujuh petala langit dan bumi, masih akan jauh lebih berat kalimat zikir Tuhan itu”.
Kitab Pengajaran Sufi
Menurut daftar pengajaran Sufi, murid dibagi tiga kelompok: Mubtadi, orang yang baru mempelajari ilmu syari’at, Mutawasith, dianggap menengah, dan Muntahi, yang telah suci roh dan hatinya. Ditegaskan bahwa mempelajari ilmu hakikat, yang terkait dengan sifat, zat, dan af’al Tuhan dalam segala alam dianggap masalah yang pelik dan sukar. Maka mereka harus mempunyai pengetahuan tentang syariat yang zahir terlebih dahulu, seperti ilmu tauhid, dan usuluddin, ilmu fiqh; serta ilmu syariat yang batin yaitu ilmu tasawwuf dan akhlak.
Tetapi setelah dianggap tiba masanya, mereka sangat dianjurkan mempelajari hal-hal yang dianggap sukar dan pelik itu.
Orang Sufi menganggap suatu fadhilah, amal yang tinggi nilainya mempelajari ilmu Sufi itu, karena ketinggian nilai ilmu itu berada pada kitab yang ada di dalamnya.
BAB II
PANDANGAN SUFI TERHADAP TUHAN
Tuhan dan Mistik Sebelum Islam
Sejarah manusia menerangkan, mencari Tuhan telah ada sejak berabad-abad lamanya. Manusia ingin mengetahui asal mula dunia, Sang Pencipta, dan berbagai pertanyaan lainnya. Dan sebagai umat Islam kita tidak ragu beriman kepada Allah dengan segala sifat dan af’alnya, dengan mengikuti segala perintah dan menjauhi larangan Allah.
Namun, meski ajaran Islam sudah sedemikian lengkapnya, sebagai tuntunan kebahagiaan dunia akhirat, dalam sejarah perkembangannya baik sangaja atau tidak tetap mengalami perbedaan dengan yang murninya.
Ajaran Ketuhanan Persia dan India, Yunani dan Masehi
Al Qur’an pada permulaan Islam diajarkan cukup menuntun kehidupan batin umat Muslimin yang saat itu terbatas jumlahnya. Lambat laun dengan bertambah luasnya daerah dan pemeluknya, Islam kemudian menampung perasaan-perasaan dari luar, dari pemeluk-pemeluk yang sebelum masuk Islam sudah menganut agama-agama yang kuat ajaran kebatinannya dan telah mengikuti ajaran mistik, keyakinan mencari-cari hubungan perseorangan dengan ketuhanan dalam berbagai bentuk dan corak yang ditentukan agama masing-masing. Perasaan mistik yang ada pada kaum Muslim abad dua Hijriah (2H) yang sebagian diantaranya menganut agama non Islam, misal India menganut Hindu, Persi menganut Zoroaster, atau Siria menganut Masehi; tidak ketahuan masuk dalam kehidupan kaum Muslim karena pada diri mereka masih terdapat kehidupan batin yang yang ingin mencari kedekatan diri pribadi dengan Tuhan. Keyakinan dan gerak-gerik akibat paham mistik ini makin hari makin luas dan mendapat sambutan dari kaum Muslim, meski mendapat tantangan dari ahli-ahli dan guru agamanya. Maka dengan jalan demikian berbagai aliran mistik ini, yang pada mulanya berasal dari aliran mistik Masehi, Platonisme, Persi, dan India perlahan-lahan memengaruhi aliran-aliran dari dalam Islam. Sebagaimana di Timur, begitu pun di Barat orang sibuk mencari siapa dan apa yang menjadi pencipta alam ini. Thales, Anaximandros, dan Anaximenes dari Yunani, turut memikirkan apa yang menjadi sebab ada dan tiada, hidup dan mati, alam serta makhluk.
Pengertian Tuhan dalam Agama Islam
Bagi ahli sunnah maupun ahli salaf, tauhid dibagi atas tiga macam, tauhid rububiyah, tauhid uluhiyyah, dan tauhid asma dan sifat Allah. Tauhid Rububiyah berkaitan dengan keyakinan ada yang mencipta dan mengurus alam serta isinya. Tauhid Uluhiyah, tingkatannya lebih tinggi, mereka mengakui bukan hanya adanya pencipta dunia besrta isinya ini, namun semua perbuatan manusia harus bisa dipertanggungjawabkan. Sedang tauhid zat dan asma, keesaan diri dan nama Allah sebagai Pencipta yang tunggal, dengan berbagai sifatnya. Lawan dari tauhid adalah syirik, yang meliputi tiga hal pula. Akbar, Asghar, dan Khafi. Syirik termasuk kufur, pekerjaannya menentang Tuhan, pelakunya disebut Kafir.
Pandangan Ahli Filsafat Ketuhanan
Pada mulanya, ahli filsafat Islam banyak yang dipengaruhi pendapat ahli fikir Yunani. Ahli fikir Yunani pada mulanya menguraikan pendapatnya tentang adanya Tuhan dengan segala ciptaannya. Ahli filsafat Islam kemudian mengupas alam fikiran Yunani dan menyesuaikannya dengan dasar Tauhid dalam ajaran Islam. Tujuan Islam yang pertama, melenyapkan adanya berbilang pada zat Tuhan yang Esa (ta’addud). Maka cukup bagi seorang mukmin untuk keperluan tauhidnya hanya mengaku adanya zat tunggal yang disembah, serta menghindari mempersekutukan Allah. Ibn Sina memberi keterangan tentang zat Allah menurut akal dan ilmu pengetahuan, mengakui sifat Allah yang lengkap, yang tidak ada di alam pikiran Yunani sebelumnya.
Pandangan Ahli Sufi dan Tasawwuf
Pandangan orang Sufi dan Tasawwuf terhadap Tuhan tidak terbatas sebagaimana yang disebut dalam ilmu tauhid biasa. Yang berdasar hukum naqli (ayat Al Qur’an dan hadits) dan hukum aqli. Orang Sufi menerima segala keterangan yang menerangkan Tuhan itu sempurna, sebagai tujuan hidupnya. Dengan cara senantiasa memikirkan dan menyebut Tuhan, orang Sufi berusaha melenyapkan kekurangan dan ketidaksempurnaannya. Banyak cerita yang menunjukkan pandangan Sufi terhadap Tuhan mendalam sekali sehingga tidak dapat disampaikan dengan kata-kata.
Liqa’ dan Ru’yah
Ru’yah merupakan suatu pandangan yang berkeyakinan akan bertemu Tuhan setelah segala perjuangan yang dilakukannya. Kata lain yang sama dengan Ru’yah adalah musyahadah dan liqa’. Dalam pendirian Sufi, manusia yang berbahagia di akhirat akan melihat Tuhan secara nyata.
Diakui untuk sampai pada ru’yah bukanlah hal yang mudah. Berbagai gelombang batin senantiasa menyertainya. Tentu saja semua penganut harus beriman, berIslam, dan Ihsan. Orang Sufi senantiasa melakukan ibadah baik di malam hari, hingga waktunya tak pernah kosong dari beribadah. Bagi jiwa ada tujuh tingkatan, nafsul: amarah, lauwamah, muthma’innah, mulhamah, radhiyah, mardhiyah, dan kamilah.
Wihdatul Wujud
Sumber penciptaan yang tunggal disebut Wihdatul Wujud, sedang keyakinan penciptaan yang tunggal disebut Wajibul Wujud. Ada pula Mumkinul wujud, segala rahasia dan keanehan alam yang tunduk kepada Allah. Setelah adanya ketetapan sekalian ala mini, maka semua yang ada dibagi menjadi dua macam, yang dapat dilihat dan dirasakan panca indra, dan kebalikannya. Pada pembahsan ini, terkait pula dengan sifat wajib Allah.
Al Farabi membagi ilmu agama menjadi dua bagian, Fiqh (Jurisprudence) dan kalam (theology). Al Farabi mengemukakan pendapatnya tentang kehidupan orang Sufi. Menurutnya yang membedakan filsafat Islam dan filsafat lain adalah adanya ajaran tasawwuf yang diselipkan dalam filsafat Islam. Menurut Farabi, tidak semua manusia dapat meningkat ke tingkat kebahagiaan, kecuali jiwanya bersih dan suci. Menurutnya pula ahlus safa terdiri dari ahli filsafat dan nabi-nabi, yang dengan jalan mereka melihat cahaya yang dicari. Menurutnya pula, semua yang ada di dunia juga berada pada tingkatan yang berbeda pula. Ibnu Sina juga memiliki kesamaan terkait pendapatnya dengan Farabi, dalam pendasaran kebahagiaan pada pengajaran dan berfikir, tempat bagi akal dan badan terdapat kebahagiaan. Selain itu, tasawwuf akal berdiri atas dasar filsafat, sebagai paham Sufi dalam aliran filsafat.
BAB III
PANDANGAN SUFI TERHADAP DUNIA
Kejadian Dunia
Selain cerita yang ada dalam Al Qur’an, orang Sufi memiliki cerita karya mereka sendiri tentang sejarah kejadian dunia. Cerita mereka juga sering dipengaruhi oleh pengarang masing-masing. Seperti bagian-bagian dunia yang dibuat berdasar hari tertentu. Mereka juga menggambarkan kehancuran dunia beserta isinya yang didahului tanda-tanda tertentu seperti fitnah yang merajalela dan kehancuran di daratan lainnya. Cerita kehancuran dunia yang mengerikan diharapkan mampu membawa manusia kepada keinsafan menuju Tuhan, bertaubat sebelum pintu taubat itu tertutup yang menyebabkan manusia menyesal dan tidak mampu memperbaikinya lagi. Orang Sufi juga mengatakan mengenai dunia, sebagai tempat persinggahan sementara dan bukan tempat yang abadi sebagai alasan mereka menggambarkan kejadian dunia dengan buruk.
Nilai terhadap Dunia
Orang Sufi melihat dunia ini tidak kekal, sehingga dunia bukanlah tujuan hidup dan perjuangannya. Beberapa hadits yang shahih juga dijadikan rujukan akan kebenaran pandangan ahli Sufi akan dunia. Beberapa alasan orang Sufi yang menguatkan kebenciannya terhadap dunia adalah, “Dunia itu kampung bagi orang yang tidak memilki tempat tinggal, harta bagi mereka yang tidak memiliki apa-apa, di dalam dunia itu dikumpulkan orang-orang yang tidak berakal dan berilmu, pikiran orang yang saling membenci, dan ke sanalah pergi berduyun-duyun orang yang tidak mempunyai keyakinan yang kokoh. Orang-orang Sufi juga mengambil contoh kehidupan zahid dan faqir dari cerita dan ucapan para nabi, nabi Isa as dan Ibrahim as contohnya. Gambaran dan pandangan mereka tentang dunia sebagaimana diutarakan oleh Yunus bin Abul A’la: “Dunia dibandingkan dengan seorang tidur, ia melihat dalam tidurnya, apa yang digemari dan dibenci, sementara ia pun terjaga, segala yang dialaminya pun lenyap”.
Al Qur’an terhadap Dunia
Guru Sufi adalah orang yang ahli dalam memberikan gambaran suasana dengan baik. Ayat Al Qur’an banyak memberi penilaian rendah akan dunia. Rasulullah sendiri menunjukkan contoh tidak begitu gemar akan dunia.
BAB IV
PANDANGAN SUFI TERHADAP MANUSIA
Teori Nur Muhammad
Dalam hubungan kisah kejadian dunia dan manusia, orang-orang Sufi membuat teori sendiri tentang nur Muhammad, yang dinamakan Roh terbesar, yang dijadikan Allah sebelum menjadikan segala sesuatu. Para guru menceritakan rahasia kisah ilmu dan amsalnya kepada murid-muridnya. Cerita di atas bahkan telah berkembang luas kea lam pikiran Sufi, baik di dalam maupun luar Indonesia. Bahkan mereka mengatakan, kejadian Adam pun berasal dari nabi Muhammad ini.
Adam sebagai Bapak Manusia
Sebagaimana keyakinan orang Sufi bahwa manusia itu keturunan Adam dan Hawa, kaum muslimin pun berpendapat demikian. Dalam cerita kejadian Adam, kaum Sufi biasanya bercerita dengan hal luar biasa. Mereka mengatakan Adam as dijadikan dari air, api, angin, tanah, ditambah dengan cerita yang dimaksutkan memperbaiki tingkah laku manusia. Sebagai buah dari peniupan roh, manusia memilki sifat yang baik seperti benar, amanah, dapat dipercaya, syaja’ah, berani mepertahankan keadilan, dan lain-lain. Kadang cerita yang mereka sampaikan, kita tidak dapat menemukan dalilnya, namun itu semua semata-mata untuk membangun perhatian daan perasaan, bukan mencari alasan mana agama yang kuat dan mana yang lemah.
Manusia dan Tabiatnya
Orang Sufi mengembalikan sifat dan tabiat manusia kepada asal kejadiannya dari bermacam sifat tanah yang dipakai untuk menjadikan Adam as. Mereka membagi manusia dalam empat tahap, manusia ciptaan asli (haiwaniyah), sesudah itu beragama dan mengenal Tuhan (Insaniyah), manusia bersifat kebendaan yang tidak bisa ditundukkan dengan kekerasan (maddiyah), dan terakhir sesudah rohnya diselamatkan dari pikiran kotor dan keji ia menjelma menjadi manusia ruhiyah.
Diakui atau tidak, orang Sufi memilki kelebihan disbanding manusia biasa, seperti rasa yang lebih mendalam, memberatkan diri dalam beribadah, menghindari omong kosong dan perbuatan dosa, keyakinan yang sungguh-sungguh, dan sebagainya.
Mu’jizat dan Keramat
Orang Sufi memiliki keyakinan bahwa para wali mempunyai keistimewaan. Mereka di saat tertentu dapat melakukan hal yang luar biasa yang tidak dapat dilakukan manusia biasa. Pekerjaan luar biasa ini dinamakan keramat. Kata ini diambil dari bahasa Arab yang berarti tidak lebih dan tidak kurang dari pengertian mulia, murah, dan tinggi budi. Dalam kitab tasawwuf, arti keramat adalah pekerjaan atau keadaan di luar akal manusia. Keramat juga bisa muncul dari hamba biasa yang shalih, selalu mengikuti syariat nabi saw, senantiasa mengerjakan ibadah dan amal salih. Perbedaannya dengan nabi saw adalah, orang keramat tidak ma’sum atau terpelihara dari pekerjaan jahat atau mahfuz yang berarti terpelihara dari berbuat maksiat. Ghazali menceritakan bahwa tidak ada perbedaan dalam kejadian mu’jizat, keramat, dan sihir. Perbedaannya karena nabi dan wali memilki jalan hidup yang baik dan tukang sihir sebaliknya.
Wali dan Qutub
Wali memilki kedudukan yang tinggi karena kehidupan yang murni dan amal yang saleh sepanjang ajaran Allah dan Rasulullah. Kadang mereka menjadikan wali sebagai perantara manusia biasa dengan Tuhan yang dikenal dengan tawassul. Sebagaima nabi saw sebagai penghubung dengan Tuhan untuk menyampaikan permintaan dan hajat. Memang kedudukan yang baik di dunia dan akhirat dijanjikan untuk para wali atau aulia Allah. Kebahagiaan yang begitu besarnya mereka peroleh karena di dunia mereka tidak putusnya bershalawat, sebagai amalan terpokok, dan amalan lain seperti tasbih dan tahmid tak terhingga kiranya.
BAB V
NABI MUHAMMAD SAW DAN SUFI
Ajaran Hidup Zuhud
Zuhud artinya tidak ingin, tidak tertarik kepada dunia, kemegahan, harta dunia dan pangkat. Kemudian muncul kalimat zuhhad sebagaimana ‘abad terjadi dari kata ‘ubbad, yang berarti orang yang mengabdikan dirinya semata-mata kepada Tuhan.
Zuhudlah terhadap dunia, supaya Tuhan mencintaimu. Dan zuhudlah pada apa yang ada di tangan manusia, supaya manusia cinta engkau. (Ibnu Majah, Thabrani, Baihaqi)
Nabi Muhammad Saw
Meski nama sufi dan tasawwuf belum dikenal orang abad pertama Islam, tapi kehidupan Sufi telah melekat pada diri nabi saw beserta sahabat. Pelajaran dan pengangkatan nabi sebagai Rasul, diperantarakan melalui malaikat Jibril. Muhammad merasa takut menerima amanat dan beban berat sebagai nabi sekaligus Rasul yang bertugas menyampaikan ke manusia. Meski di awal kehadirannya, bangsa Arab belum sepenuhnya melepas keyakinan nenek moyang, namun lambat laun bertauhid dengan sungguh-sungguh.
Dunia dalam Al Qur’an
Al Qur’an merupakan pokok terpenting bagi kehidupan Sufi nabi dan sahabat, karena di dalam Al Qur’an terdapat keterangan akan buruknya dunia secara panjang lebar.al Qur’an tidak bosan-bosannya memperingatkan kehidupan dunia yang tidak abadi, semua akan kembali kepada Tuhan Penciptanya. Maka ini menunjukkan Al Qur’an membantu menuju kehidupan rohani. Segala doa, sembahyang, hidup dan mati diperuntukkan kepada Allah semata.
Sahabat- Sahabat Nabi
Sebagaimana nabi saw, sahabat-sahabat nabi juga memiliki kehidupan Sufi. Tertutama Khulafaur Rasyidin dan sahabat yang lain, Bilal, Abu Ubaidah, Hazaifah bin Zaman, dan sebagainya.
Abu Bakar Shiddiq
Abu Bakar adalah yang terdekat kepada Nabi saw, seorang yang pertama memeluk agama Islam di antara orang laki-laki yang dewasa. Abu Bakar juga menghabiskan semua kekayaannya untuk beramal di atas jalan Allah. Mempunyai akhlak serta budi pekerti yang terpuji. Imannya sangat kuat dan Islamnya sangat kokoh. Sangat taqwa dan saleh. Tatkala nabi wafat, Abu Bakarlah yang ditunjuk sebagai imam masjid. Sikapnya yang dapat mengatasi pertentangan paham, menunjukkan ia seorang negarawan yang tinggi.
Umar ibn Khattab
Umar mempunyai riwayat hidup yang aneh dalam Islam dan dikenal sebagai pahlawan Quraisy yang gagah dan sebagai seorang dari dua Umar yang disegani. Kedua Umar itu adalah Umar ibn Khattab dan Umar ibn Hisyam.
Sebagaimana doa nabi saw, “Ya Allah perkuatlah Islam dengan salah seorang dari dua Umar!”. Sejarah perjuangan Umar dan sejarah pribadinya sangat istimewa sebagai pembesar Islam.
Usman bin Affan
Sebelum Islam, Usman adalah seorang yang kaya raya. Setelah masuk Islam ia menjadi seorang yang sederhana karena semua harta bendanya dipergunakan untuk perjuangan Islam. Konon diceritakan istrinya tidak memiliki apa-apa di rumah untuk dimasak. Namun ia tetap sabar dan ikhlas. Bahkan setelah menjadi khalifahpun, Umar tetaplah seorang yang merendahkan hati dan sabar. Setelah ia wafat barulah jihad yang selama ini dilaksanakan kemudian berhenti.
Ali ibn Abi Thalib
Sahabat yang sangat terdekat hubungannya dengan Rasul. Sosok yang telah menerima ilmu yang sukar yang diajarkan nabi saw. Selalu melatih diri dalam kesucian dan kesederhanaan. Tidak ada yang lebih berani dalam perang Islam melainkan Ali ibn abi Thalib. Hingga ia mendapat gelar Singa Allah. Ia menikah dengan Fatimah yang sebagaimana ayahnya berlaku sederhana, penuh kesucian, dan kemurnian.
BAB VI
CONTOH AHLI BAIT
ZAINAL ABIDIN
Seorang yang diagungkan dalam dunia Sufi adalah Zainal Abidin, cicit dari nabi Muhammad saw. Dia adalah anak dari husein bin Alin ibn Abi Thalib. Dinamakan Ibnal Khairataini, anak dua kebaikan. Dia sangat hormat kepada ibunya hingga membuat orang lain heran. Ia dianggap terlalu banyak berbuat baik terhadap orang miskin dan senantiasa mempersembahkan baktinya untuk Tuhan. Gambaran kesufian jiwanya membuat ia dihargai orang-orang Sufi lain.
BAB VII
Hal-Hal yang harus diperhatikan murid terhadap Guru
Tunduk dan hormat kepada guru
Tidak boleh menentang atau menolak perintah baik dari guru
Memperbaiki niat dengan ikhlas semata mengharap Ridha Allah
Tidak boleh menggunjing, atau membicarakan keburukan guru
Selalu mengingat guru di manapun berada
Tidak boleh menyiarkan rahasia guru
Mengunjungi guru dan keluarga
Tidak boleh menjual atau memberikan kepada orang lain hadiah atau pemberian dari guru
Tidak boleh banyak bicara di depan guru
Tidak boleh berbicara keras di hadapan guru.
Inilah sekilas tentang Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawwuf. Di dalam buku beliau, Abubakar Aceh juga menyertai tokoh tasawwuf dari berbagai kalangan, baik sahabat nabi dan generasi penerusnya, ahli Sufi Thariqah, dari Iran, Mesir dan Syam, serta Pelaksanaan Thariqat digambarkan dengan gamblang di sini. Aliran aliran Sufi di Indonesia baik wali songo dan gerakan batin di Indonesia disampaikan di halaman-halaman terakhir. Serta ada pula adab ataupun interaksi sosial yang disampaikan dalam buku ini.
Komentar